Pages - Menu

Friday, February 22, 2013

BAB II : Konsep Jiwa (Perilaku Kekerasan)


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Konsep Dasar Perilaku Kekerasan
1.      Definisi
a.      Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. (Stuart dan Sunden, 1995) dalam Kumpulan materi keperawatan jiwa RSJ Provinsi Jawa Barat 2010.
b.      Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. (Berkowtz, 1993) dalam Kumpulan materi keperawatan jiwa RSJ Provinsi Jawa Barat 2010.
c.       Kekerasan Terhadap anak
Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (Child Abuse) dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman tehadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Contoh paling jelas dari tindak kekerasan yang dialami anak-anak adalah pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali-kali sampai terjadi luka goresan (srapes/scrathes). Namun demikian, perlu didasari bahwa Child Abuse sebenarnya tidak hanya berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik, melainkan juga bisa berupa berbagai bentuk eksploitasi melalui misalnya pornografi atau penyerangan seksual (seksual as-sault), pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi (malnutrion), pengabaian pendidikan dan kesehatan (education and medical neglet) dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse ). Gelles, 1985 dalam Suyanto (Masalah sosialisasi anak 2010:28).
2.      Jenis dan Kekerasan  yang di lakukan orang tua terhadap anak           
Dari klasifikasi yang dilakukan para ahli, tindakan kekerasan atau pelanggaran terhadap anak tersebut dapat terwujud setidaknya dalam dua bentuk. Suyanto, dalam Masalah sosialisasi anak ( 2010:29)
a.       Kekerasan fisik.
Bentuk ini paling mudah dikenali. Terkategorisasi sebagai kekerasan jenis ini adalah : menampar, menendang, memukul/meninju, mencekik, mendorong, menggigit, membenturkan, mengancam dengan benda tajam dan sebagainya. Korban  kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban seperti : luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan, dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat.
b.      Kekerasan psikis.
Kekerasan jenis ini tidak begitu mudah dikenali. Akibat yang dirasakan oleh korban tidak memberikan bekas yang nampak jelas bagi orang lain. Dampak kekerasan jenis ini akan berpengaruh pada situasi perasaan tidak aman dan nyaman, menurunnya harga diri serta martabat korban. Wujud konkret kekerasan atau pelanggaran jenis ini adalah : penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di depan orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman dengan kata-kata, dan sebagainya. Akibat adanya perilaku tersebut biasanya korban akan merasa rendah diri, minder, merasa tidak berharga, dan lemah dalam membuat keputusan (decision making).
3.      Faktor Terjadinya Perilaku Kekerasan Terhadap Anak
Menurut Lestari Basoeki, 1999 dalam Suyanto (2010:32), beberapa faktor penyebab yang terjadi penganiayaan anak dan penelantaran anak :
a. Orang tua yang dahulu dibesarkan dengan kekerasan cenderung meneruskan  pendidikan tersebut kepada anak-anaknya.
b. Kehidupan yang seperti terlalu padat kemiskinan, sering berkaitan dengan tingkah laku agresif, dan menyebabkan terjadinya penganiayaan fisik terhadap anak.
c. Isolasi sosial, tidak adanya dukungan yang cukup dari lingkungan sekitar, tekanan sosial akibat situasi krisis ekonomi, tidak bekerja dan masalah perumahan akan meningkatkan kerentanan keluarga yang akhirnya akan terjadinya penganiayaan dan penelantaran anak.
Menurut seorang pemerhati masalah anak  Fatimah, (1992) dalam Suyanto (2010:33) mengungkapknan terdapat 5 kondisi yang menjadi faktor pendorong atau penyebab terjadinya kekerasan atau pelanggaran dalam keluarga yang dilakukan terhadap anak :


a.       Faktor ekonomi.
Kemiskinan yang dihadapi sebuah keluarga sering kali membawa keluarga tersebut pada situasi kekecewaan yang pada gilirannya menimbulkan kekerasan. Hal ini biasanya terjadi pada keluarga dengan anggota yang sangat besar. Problematika finansial keluarga yang memprihatinkan atau kondisi keterbatasan ekonomi dapat menciptakan berbagai macam masalah baik dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, pembelian pakaian, pembayaran sewa rumah yang kesemuanya relatif dapat mempengaruhi jiwa dan tekanan yang sering kali akhirnya dilampiaskan terhadap anak-anak.
b.      Masalah keluarga.
Hal ini lebih mengacu pada situasi keluarga khususnya hubungan orang tua yang kurang harmonis. Seorang ayah akan sanggup melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya semata-mata sebagai pelampiasan atau upaya untuk pelepasan rasa jengkel dan amarahnya terhadap istri. Sikap orang tua yang tidak melukai anak-anak, pemarah dan tidak mampu mengendalikan emosi juga dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak-anak. Bagi para orang tua yang memiliki anak yang bermasalah seperti : cacat fisik atau mental (idiot) acap kali kurang dapat mengendalikan kesabarannya sewaktu menjaga atau mengasuh anak-anak mereka, sehingga mereka juga merasa terbebani atas kehadiran anak-anak tersebut dan tidak jarang orang tua menjadi kecewa dan merasa frustasi.

c.       Faktor perceraian.
Perceraian dapat menimbulkan problematika kerumah tanggaan seperti persoalan hak pemeliharaan anak, pemberian kasih sayang, pemberian nafkah dan lain sebagainya. Akibat perceraian juga akan dirasakan oleh anak-anak terutama ketika orang tua mereka menikah lagi dan anak harus dirawat oleh ibu atau ayah tirinya. Dalam banyak kasus tindakan kekerasan tidak jarang dilakukan oleh pihak ayah atau ibu tiri tersebut.
d. Menyangkut permasalahan jiwa atau psikikologis.
Dalam berbagai kajian psikologis disebutkan bahwa orang tua yang melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan terhadap anak-anak adalah mereka yang memiliki problem psikologis. Mereka senantiasa berada dalam situasi kecemasan (anxiety) dan tertekan akibat mengalami depresi atau setres. Secara tipologis ciri-ciri psikologis yang menandai situasi tersebut anatara lain : adanya perasaan rendah diri, harapan terhadap anak yang tidak realistis, harapan yang bertolak belakang dengan kondisinya dan kurangnya pengetahuan tentang bagaimana cara mengasuh anak yang baik.
e. Faktor terjadinya kekerasan atau pelanggaran terhadap hak-hak anak adalah tidak dimilikinya pendidikan atau pengetahuan religi yang memadai.
Dalam sebuah model yang disebut “The Abusive Environment Model”, Ismail, 1995 dalam Suyanto (2010:35) menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak-anak sesungguhnya dapat ditinjau :

a. Aspek kondisi sang anak sendiri                        
Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak dapat terjadi karena faktor pada anak, seperti : anak yang mengalami premature, anak yang mengalami sakit sehingga mendatangkan masalah, hubungan yang tidak harmonis sehingga mempengaruhi watak, adanya proses kehamilan atau kelahiran yang sulit, kehadiran anak yang tidak dikehendaki, anak yang mengalami cacat baik mental maupun fisik, anak yang sulit diatur sikapnya, dan anak yang meminta perhatian khusus.
b. Faktor pada orang tua .
Meliputi pernah tidak orang tua mengalami kekerasan atau penganiayaan sewaktu kecil, menganggur atau karena pendapatan tidak mencukupi, pecandu narkotika atau peminum alkohol, pengasingan sosial atau dikucilkan, sewaktu senggang yang terbatas, karakter pribadi yang belum matang, mengalami gangguan emosi atau kekacauan saraf yang lain, mengidap penyakit jiwa, sering kali menderita gangguan kepribadian, berusia terlalu muda sehingga belum matang, terutama sekali mereka yang mendapatkan anak sebelum berusia 20 tahun. Kebanyakan orang tua dari kelompok ini kurang memahami kebutuhan anak dan mengira bahwa anak dapat memenuhi perasaannya sendiri dan latar belakang pendidikan orang tua yang rendah.
c. Karena faktor lingkungan seperti : kondisi kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis, kondisi sosial ekonomi yang rendah, adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak merupakan milik orang tua sendiri, status wanita yang rendah, sistem keluarga patriakat, nilai masyarakat yang terlalu individualistis dan sebagainya.
Dalam pengkajian lain yaitu Vincent J. Fontana, 1973 dalam Suyanto (2010:37) mengemukakan bahwa orang yang biasanya melakukan tindak kekerasan atau penganiayaan terhadap anaknya adalah orang tua yang memiliki ciri berikut:
a. Secara emosional belum matang.
Orang tua yang termasuk pada ciri ini umumnya bersifat kekanak-kanakan dan menikah belum mencapai usia sesuai tanggung jawab yang harus diemban sebagai orang tua. Sering kali orang tua merasa tidak senang dengan kehadiran anak dan memaksa anak untuk memikul beban peranan orang tua dimana sesungguhnya anak belum waktunya untuk melakukannya. Untuk rasa keamanan mereka menekankan adanya aturan-aturan dirumah yang sangat ketat. Siapa saja yang tidak mematuhi aturan yang telah ditetapkan akan mendapatkan ancaman dan hukuman. Dengan emosi yang masih labil orang tua tipe ini lebih cenderung untuk meminta dari pada memberi. Ada juga yang merasa terasing dengan lingkungannya  sebab tidak mampu menjalin hubungan yang harmonis baik dengan keluarga maupun anaknya.
b. Menderita gangguan emosional.
Kebanyakan dari orang tua ini tidak memiliki cara pengasuhan dan latar belakang yang baik, sehingga tidak memiliki bekal sebagai orang tua yang bertanggung jawab. Hal ini menyebabkan mereka tidak dapat berperan sebagaimana orang tua pada umumnya. Apabila mengalami frustasi orang tua dengan tipe ini tidak mampu melakukan kontrol terhadap emosinya sehingga tidak segan-segan untuk melukai siapapun yang ada didekatnya termasuk juga anak-anaknya. Kondisi semacam ini menyebabkan orang tua senantiasa menyalahkan anak-anaknya padahal anaknya tidak melakukan apapun seperti yang dituduhnya.
c. Secara mental tidak sempurna.
Pada golongan ini orang tua sulit untuk melakukan adaptasi dan menerima anak-anaknya. Dengan masalah mental yang dihadapi mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana seharusnya berfikir. Akibatnya mereka sulit untuk memahami dirinya apalagi orang lain termasuk anak-anaknya sendiri. Sehingga jika perilaku anak-anak menyimpang dari tingkah laku standar normal yang mereka tentukan, maka mereka akan beranggapan bahwa anak-anak tidak tunduk dan dengan sengaja melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang terjadi akan selalu di iringi dengan hukuman yang makin lama makin berat.
d. Orang tua yang terlalu berpegang pada disiplin.
Orang tua pada tipe ini beranggapan bahwa memukul dan menghajar adalah sesuatu hal yang wajar untuk mendisiplinkan anak. Mereka menganggap bahwa hukuman fisik adalah cara wajar untuk mendidik anak dan merupakan cara yang sangat efektif. Ada beberapa alasan mengapa orang tua melakukannya. Pertama, karena mereka merasa bahwa orang tua sangat bertanggung jawab dalam membesarkan anak-anaknya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kedua, mereka mencoba melakukan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Dengan kata lain, yang benar menurut orang tua benar untuk sang anak.
e. Orang tua yang memiliki kepribadian yang sadisme dan berperilaku kriminal. Meskipun orang tua termasuk pada golongan ini kecil jumlahnya, tetapi perlu juga diwaspadai. Biasanya orang tua tipe ini suka memukul, menyiksa dan kadang kala membunuh hanya untuk kepuasan pribadi.
f. Pecandu minuman alkohol.
Orang tua yang telah kecanduan minuman keras atau minuman alkohol meski tidak bermaksud untuk melakukan tidak kekerasan pada anaknya, tetapi karena pengaruh minuman tersebut justru sebaliknya akan terjadi. Karena tidak sadar mereka tidak jarang melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anak. Kondisi kecanduan minuman keras memberikan konsekuensi terhadap lingkungan kehidupan keluarga yang makin buruk dan mempengaruhi proses pendidikan pada anak.      
4.      Dampak Tindakan Kekerasan Terhadap Anak
                  Secara umum dapat dikatakan bahwa tindak kekerasan pada anak adalah setiap tindakan yang mempunyai dampak fisik yang bersifat traumatis pada anak, baik yang dapat dilihat dengan mata telanjang atau dilihat dari akibatnya bagi kesejahteraan fisik dan mental anak. Tindak Kekerasan terhadap anak meski diakui acap kali terjadi di masyarakat, namun demikian ketika kita berbicara tentang pembuktiannya dari segi hukum, ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan. Dalam berbagai kasus kita tahu bahwa trauma fisik akibat tindak kekerasan terhadap terhadap anak terdapat hilang setelah 48 jam-kecuali tindak kekerasan yang menimbulkan bekas luka yang serius dan parah. Berikut terdapat beberapa indikator dari WHO yang memperlihatkan tingkat keparahan (severity) dari tindak kekerasan yang dialami anak-anak:
a.       Fatal : anak meninggal: dicurigai bahwa tindak kekerasan fisik (physical abuse) yang menyebabkan terjadinya kematian.
b.      Serius : kondisi yang mengancam kehidupan atau luka yang cukup serius untuk menyebabkan terjadinya kerusakan jangka panjang yang signifikan atau diperlukannya penanganan Dokter untuk mencegah kerusakan jangka panjang. Contoh: hilangnya kesadaran, kejang-kejang, patah tulang, kondisi fisik yang cukup parah sehingga butuh penanganan Rumah Sakit.
c.       Sedang : atau trauma fisik yang sedang: kondisi fisik dengan gejala-gejala teramati (sakit/kerusakan) diharapkan sembuh paling sedikit 48 jam. Contoh: memar-memar, lecet.
Pada anak-anak yang mengalami penelantaran dapat terjadi kegagalan dalam tumbuh kembangnya, malnutrisi, anak-anak ini kemungkinan fisiknya kecil, kelaparan, terjadi infeksi kronis, hygiene kurang, hormon pertumbuhan turun. Apabila kegagalan tumbuh kembang anak tarafnya sangat berat maka anak-anak akan menjadi kerdil apabila ini terjadi secara kronis maka anak tidak bisa tumbuh kembang meskipun kemudian diberi makan yang cukup. Anak-anak ini proporsi tubuhnya normal, akan tetapi akan kecil untuk anak sesuainya. Kadang ada dari mereka mengalami perbaikan hormon pertumbuhannya dan kemudian mengejar ketinggalan pertumbuhan yang pernah dialaminya.
Dari segi tingkah laku anak-anak yang mengalami penganiayaan sering menunjukkan seperti: penarikan diri, ketakutan, tingkah laku agresif, emosi yang labil. Mereka juga sering menunjukkan gejala depresi, jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur, phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras, penggangguan stres pasca trauma dan terlibat dalam penggunaan zat adiktyif.
Dari hasil penelitian dikatakan bahwa penganiayaan pada masa anak-anak  berhubungan erat dengan meningkatnya kemungkinan untuk mendapatkan pengalaman masa kanak-kanak yang tidak baik dalam lingkungan rumah, kemungkinan besar untuk mendapatkan gangguan kepribadian ambang dan pada gilirannya akan mendapatkan kemungkinan yang lebih besar untuk mendapat depresi pada masa dewasanya.
B.     Konsep Dasar Pengetahuan
1.      Definisi
            Pengetahuan hasil tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap satu objek tertentu, pengindraan ini terjadi melalui panca indra manusia yaitu penglihatan, penciuman, indra peraba dan indra perasa yang meliputi :
a. Tahu (Know)
b. Memahami (Compheresion)

c. Aplikasi (Application)
d. Analisis (Analysis)
e. Sintetis (Synthesis)
f. Evaluasi (Evaluation)
(Notoatmodjo, 2005).
2.      Tingkat Pengetahuan
          Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan. Semakin ke atas tingkat pengetahuan semakin baik pengaruhnya terhadap perilaku. Tingkatan pengetahuan tersebut adalah :
               a. Tahu (Know)
Diartikan sebagai mengingat suatu materi yag telah di pelajari sebelumnya. Tahu  merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah, untuk mengukur orang tahu tentang apa yang di pelajari antara lain dengan menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan. Dengan kata lain dapat menyebutkan pengertian, cara penularan dan cara pencegahan penyakit.
b. Memahami (Compherension)
Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang telah di pelajari.

c. Aplikasi (Application)
 Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah di pelajari pada suatu situasi/kondisi, seperti dapat menggunakan proses pemecahan masalah kesehatan yang dihadapi.
d.   Analisis
       Suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat  dilihat dari penggunaan kata  kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, mengelompokkan dan memisahkan.
e. Sintesis (Synthesis)
                                 Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan  kebagian-kebagian didalam suatu bentuk seluruhnya yang baru. 
 f. Evaluasi (Evaluation)
  Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek,  penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri. (Notoatmodjo, 2005).
3.      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
a. Pendidikan
Pendidikan proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran, sehingga dalam pendidikan perlu dipertimbangkan umur (proses perkembangan klien) dan hubungan dengan proses belajar. Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang untuk lebih mudah menerima ide dan teknologi baru (Notoatmodjo, 2005).
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan bertambah pengalaman yang mempengaruhi wawasan dan pengetahuan. Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan alat untuk mengubah pengetahuan (pengertian, pendapat, konsep-konsep) sikap dan persepsi serta menambah tingkah laku atau kebiasaan yang baru (Notoatmodjo, 2005).
b. Pekerjaan
Pekerjaan adalah aktifitas yang dilakukan sehari-hari untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dimana semua bidang pekerjaan umumnya diperlukan adanya hubungan sosial antara satu sama lain, setiap orang harus dapat bergaul dengan teman sejawat walaupun dengan atasan sehingga orang yang hubungan sosial luas maka akan lebih tinnggi pengetahuannya dibandingkan dengan orang yang kurang hubungan sosial dengan orang lain (Notoatmodjo, 2005).
c.    Umur
Semakin cukup usia, tingkat kemampuan atau kematangan akan lebih mudah untuk berpikir dan mudah menerima informasi. Umur mempengaruhi bagaimana mengambil keputusan dalam pemeliharaan kesehatannya, semakin bertambah umur maka pengalaman dan pengetahuan bertambah. Hal tersebut dihubungkan dengan pengaruh pengalaman sendiri maupun orang lain dapat mempengaruhi perilaku saat ini atau kemudian.  
d.   Sumber Informasi
Informasi adalah suatu yang terjadi perantara dalam menyampaikan informasi, merangsang pikiran dan kemampuan, informasi yang diperoleh dari berbagai sumber akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Bila seseorang memperoleh informasi, maka cenderung mempunyai pengetahuan yang lebih luas. Informasi dapat diperoleh melalui media misalnya TV, radio, surat kabar, majalah,   poster dan lain-lain (Notoatmodjo, 2003).

No comments:

Post a Comment