Pages - Menu

Wednesday, February 27, 2013

Askep Anak Spina Bifida


ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN SPINA BIFIDA

A.    KONSEP DASAR MEDIS
1.      Defenisi
Spina Bifida (Sumbing Tulang Belakang) adalah suatu celah pada tulang belakang (vertebra), yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh. Keadaan ini biasanya terjadi pada minggu ke empat masa embrio.
Spina bifida adalah gagal menutupnya columna vertebralis pada masa perkembangan fetus. Defek ini berhubugan dengan herniasi jaringan dan gangguan fusi tuba neural. Gangguan fusi tuba neural terjadi sekitar minggu ketiga setelah konsepsi, sedangkan penyebabnya belum diketahui dengan jelas
Beberapa hipotesis terjadinya spina bifida antara lain adalah :
1)      Terhentinya proses pembentukan tuba neural karena penyebab tertentu
2)      Adanya tekanan yang berlebih dikanalis sentralis yang baru terbentuk sehingga menyebabkan ruptur permukaan tuba neural
3)      Adanya kerusakan pada dinding tuba neural yang baru terbentuk karena suatu penyebab.
( Buku ajar Ilmu Kesehatan Anak, A.H. Markum:2002)

2.      Etiologi
Penyebab yang pasti tidak diketahui, tetapi diduga akibat :
2.1  Genetik
2.2  Kekurangan asam folat dalam masa kehamilan.
2.3  Ibu dengan epilepsi yang menderita panas tinggi dalam kehamilannya dan mengkonsumsi obat asam valproic


4.      Manifestasi Klinik
Terdapat beberapa jenis spina bifida :
4.1    Spina bifida okulta (tersembunyi) : bila kelainan hanya sedikit, hanya ditandai oleh bintik, tanda lahir merah anggur, atau ditumbuhi rambut dan bila medula spinalis dan meningens normal.
4.2    Meningokel : bila kelainan tersebut besar, meningen mungkin keluar melalui medula spinalis, membentuk kantung yang dipenuhi dengan CSF. Anak tidak mengalami paralise dan mampu untuk mengembangkan kontrol kandung kemih dan usus. Terdapat kemungkinan terjadinya infeksi bila kantung tersebut robek dan kelainan ini adalah masalah kosmetik sehingga harus dioperasi.
4.3    Mielomeningokel : jenis spina bifida yang paling berat, dimana sebagian dari medula spinalis turun ke dalam meningokel. Gejalanya berupa:
1)      Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir.
2)      Jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya.
3)      Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki.
4)      Penurunan sensasi.
5)      Inkontinensia urin maupun inkontinensia tinja.
6)      Korda spinalis yang terkena rentan terhadap infeksi (meningitis)


5.      Pencegahan
5.1  Resiko terjadinya spina bifida bisa dikurangi dengan mengkonsumsi asam folat.
5.2  Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus ditangani sebelum wanita tersebut hamil,   karena kelainan ini terjadi sangat dini.
5.3  Pada  wanita hamil dianjurkan untuk mengkonsumsi asam folat sebanyak 0,4 mg/hari. Kebutuhan asam folat pada wanita hamil adalah 1 mg/hari.

6.      Pemeriksaan Diagnostik
6.1       USG
Untuk menetahui apakah ada kelainan spina bifida pada bayi yang dikandung adalah melalui pemeriksaan USG. Hal itu dapat diketahui ketika usia bayi 20 minggu.
6.2    Pemeriksaan darah pada ibu
Dengan teknik AFP : hanya membutuhkan sedikit sampel darah dari lengan ibu dan tidak beresiko terhadap janin. Bila hasil skrining positif biasanya diperlukan test lanjutan untuk memastikan adanya kelainan genetik pada janin yang lahir kelak menderita cacat.
63     Pemeriksaan air ketuban ibu.

7.      Penatalaksanaan
Tujuan dari pengobatan awal adalah : Mengurangi kerusakan saraf akibat spina bifida dan meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi).
7.1        Pembedahan dilakukan untuk menutup lubang yang terbentuk dan untuk mengobati hidrosefalus, kelainan ginjal dan kandung kemih serta kelainan bentuk fisik yang sering menyertai spina bifida. Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk memperkuat fungsi otot. Untuk mengobati atau mencegah meningitis, infeksi saluran kemih dan infeksi lainnya, diberikan antibiotik.
7.2        Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk memperkuat fungsi otot.
7.3        Untuk mengobati atau mencegah meningitis, infeksi saluran kemih dan infeksi lainnya, diberikan antibiotik.
7.4        Untuk membantu memperlancar aliran air kemih bisa dilakukan penekanan lembut diatas kandung kemih.
7.5        Diet kaya serat dan program pelatihan buang air besar bisa membantu memperbaiki fungsi saluran pencernaan
7.6        Untuk mengatasi gejala muskuloskeletal (otot dan kerangka tubuh) perlu campur tangan dari ortopedi (bedah tulang) maupun terapi fisik. Kelainan saraf lainnya diobati sesuai dengan jenis dan luasnya gangguan fungsi yang terjadi.
7.7        Kadang pembedahan shunting untuk memperbaiki hidrosefalus akan menyebabkan berkurangnya mielomeningokel secara spontan

8.      Komplikasi
Terjadi pada salah satu syaraf yang terkena dengan menimbulkan suatu kerusakan pada syaraf spinal cord, dengan itu dapat menimbulkan suatu komplikasi tergantung pada syaraf yang rusak.


KONSEP KEPERAWATAN
1.      Pengkajian
1.1  Pengumpulan Data
1)   Orang tua klien mengungkapkan cemas
2)   Orang tua klien meminta informasi tentang tindakan yang dilakukan
3)   Orang tua klien sering bertanya tentang penyakit anaknya
4)   Orang tua tampak gelisah
5)   Klien tidak dapat mengerakkan kakinya
6)   Tampak penonjolan seperti kantung di punggung tengah klien
7)   Orang tua klien mengeluh anaknya terus berkemih dalam jumlah besar
8)   Enuresis
9)   Diurnal
10) Nokturnal

1.2  Klasifikasi Data
Data Subyektif
Data Obyektif
· Orang tua klien mengungkapkan cemas
· Orang tua klien mengeluh anaknya terus berkemih dalam jumlah besar
· Enuresis
· Diurnal
· Nokturnal
· Orang tua klien meminta informasi tentang tindakan yang dilakukan
· Orang tua klien sering bertanya tentang penyakit anaknya
· Orang tua tampak gelisah
· Klien tidak dapat mengerakkan kakinya
· Tampak penonjolan seperti kantung di punggung tengah klien

1.3  Analisa Data
No
Symptom
Etiologi
Problem
1
DS :
· Orang tua klien mengeluh anaknya terus berkemih dalam jumlah besar
DO :
· Enuresis
· Diurnal
· Nokturnal
Penonjolan dari korda spinalis dan akar saraf
Penurunan/gangguan fungsi pada bagian tubuh yang dipersarafi
Ketidakmampuan mengontrol pola berkemih
Inkontinensia Urin
Inkontinensia Urin
2
DS :
· Klien mengungkapkan cemas
DO :
· Orang tua klien meminta informasi tentang tindakan yang dilakukan
· Orang tua klien sering bertanya tentang penyakit anaknya
· Orang tua tampak gelisah
Penurunan/gangguan fungsi pada bagian tubuh yang dipersarafi
Orangtua cemas
Kurang terpajan informasi
Kurang Pengetahuan
Kurang Pengetahuan
3
DS : -
DO : -
Penurunan/gangguan fungsi pada bagian tubuh yang dipersarafi
Kelumpuhan/kelemahan pada ekstremitas bawah
Immobilisasi
Resiko Kerusakan Integritas Kulit
Resiko Kerusakan Integritas Kulit

2.      Diagnosa Keperawatan
2.1  Inkontinensia urin berhubungan dengan ketidakmampuan mengontrol keinginan berkemih.
2.2  Kurang pengetahuan orang tua tentang proses penyakit dan penanganan penyakit anaknya berhubungan dengan kurang terpajan informasi.
2.3  Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.

3.      Intervensi Keperawatan
3.1 Dx 1 : Inkontinensia urin berhubungan dengan ketidakmampuan mengontrol keinginan berkemih
Tujuan : Inkontinensia urin dapat berkurang/teratasi
Kriteria hasil :
1)      Enuresis, diurnal dan nokturnal berkurang/tidak ada
2)      Klien berkemih dalam jumlah dan frekuensi yang normal
Intervensi:
1)   Kaji pola berkemih dan tingkat inkontinensia klien
Rasional : Sebagai data dasar untuk intervensi selanjutnya
2)   Berikan perawatan pada kulit klien yang basah karena urin (dilap dengan air hangat kemudian dilap kering dan diberi bedak)
Rasional : Perawatan yang baik dapat mencegah iritasi pada kulit klien
3)   Anjurkan ibu klien untuk sering memeriksa popok klien, jika basah segera diganti
Rasional : Popok yang selalu basah dapat menimbulkan iritasi dan lecet pada kulit
4)   Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat (misalnya: Antikolinergik)
Rasional : Obat antikolinergik diperlukan untuk menghilangkan kontraksi kandung kemih tak terhambat

3.2 Dx 2 : Kurang pengetahuan orang tua tentang proses penyakit dan penanganan penyakit anaknya berhubungan dengan kurang terpajan informasi
Tujuan: Orang tua klien dapat memahami proses penyakit dan prosedur penanganan penyakit anaknya
Kriteria hasil :
1)      Orang tua klien tampak tenang
2)      Orang tua klien dapat menjelaskan proses penyakit dan prosedur penanganan penyakit anaknya
Intervensi:
1)   Kaji tingkat pengetahuan orang tua klien tentang proses penyakit dan penanganan penyakit anaknya
Rasional : Sebagai data dasar dalam emnentukan intervensi selanjutnya
2)   Berikan kesempatan kepada orang tua klien untuk bertanya
Rasional : Memberikan jalan untuk mengekspresikan perasaannya dan mengetahui pemahaman orang tua klien tentang penyakit anaknya
3)   Jelaskan dengan baik kepada orang tua tentang proses penyakit dan prosedur penanganannya
Rasional : Menigkatkan pemahaman orang tua klien tentang penyakitnya anaknya
4)   Berikan dukungan positif kepada orang tua klien
Rasional : Dukungan yang positif dapat memberikan semangat kepada orang tua untuk menerima penyakit anaknya dan membantu proses perawatan.

3.3 Dx 3 : Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi
Tujuan: Kerusakan integritas kulit tidak terjadi
Kriteri hasil :
1)      Kulit tampak halus dan lembut
2)      Tidak ada iritasi/lecet, dekubitus
Intervensi:
1)   Kaji tingkat keterbatasan gerak (immobilisasi) klien
Rasional : Sebagai data dasar untuk intervensi selanjutnya

2)   Rubah posisi klien setiap dua jam
Rasional : Penekanan yang lama pada salah satu bagian tubuh dapat menyebabkan terjadinya dekubitus
3)   Jaga pakaian dan linen tetap kering
Rasional : Pakaian dan linen yang basah dapat mengiritasi kulit
4)   Ajarkan pada orang tua klien untuk memassage daerah yang tertekan, gunakan lotion
Rasional : Memperlancar peredaran darah, meningkatkan relaksasi dan mencegah iritasi



DAFTAR PUSTAKA
 Markum A.H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta : EGC, 2002.Media Aesculapius. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-3 Jilid 2. Jakarta: MA, 2000.Whaley’s and Wong. Pedoman Klinis
Keperawatan Pediatrik. Edisi 4.Jakarta : EGC, 2003.

No comments:

Post a Comment