Pages - Menu

Tuesday, February 26, 2013

Askep Cedera Kepala



ASUHAN PERAWATAN KLIEN DENGAN CIDERA KEPALA

DISUSUN OLEH :
PEPI H. PUTERA



RSUD R SYAMSUDIN, SH
SUKABUMI
2013




KONSEP TEORI CIDERA KEPALA

1.      PENGERTIAN
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.
Suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai / tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas jaringan otak.
Merupakan suatu keadaan gawat darurat neurologic, memerlukan penanganan yang cepat,cermat dan tepat karena dapat mentebabkan cacat dan kematian
Cedera kepala dapat meliputi :
1.            Luka pada kulit kepala
2.            Fraktur tulang tengkorak
3.            Robekan selaput otak
4.            Kerusakan pembuluh darah otak
5.            Kerusakan pada jaringan otak
Trauma pada kepala dapat mengakibatkan
1)            Kerusakan Primer
Kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan langsung atau proses mekanik yang membentur kepala. Berat ringannya kerusakan tergantung :
(1) Kuatnya benturan
(2) Kondisi kepala pada saat terjadi benturan (diam atau bergerak)
(3) Adanya proses Akselerasi dan Deselerasi
(4) Bentuk objek yang menghantam
Kerusakan primer dapat mengakibatkan : Fraktur tengkorak, Perdarahan (subdural, epidural atau pada intraserebral), Robekan/regangan serabut syaraf dan kematian neuron
2)         Kerusakan Sekunder
Terjadi akibat lanjutan dari kerusakan otak primer, kemungkinan karena adanya : edema serebri, iskemia otak, perdarahan intrakranial lanjutan, infeksi, hipoksia, hipotensi ataupun serangan kejang.

2.      ETIOLOGI
Cidera kepala  dapat disebabkan karena :
Kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kecelakaan industri,  kecelakaan olah raga, luka persalinan pada bayi baru lahir ( Tarwoto, Wartonah, 2007 : 125)

3.      KLASIFIKASI
1)      Patofisologi
(1)         Komosio Serebri : tidak ada jaringan otak yang rusak, kemungkinan ada kehilangan fungsi otak sesaat, berupa pingsan < 10 menit, atau amnesia pasca trauma
(2)         Kontusio Serebri : kerusakan otak dengan defisit neurologik, pingsan < 10 menit
(3)         Laserasi Serebri : kerusakan otak yang luas, umumnya disertai dengan fraktur tengkorak terbuka
2)      Lokasi
(1)         Lesi Difus : kerusakan akibat proses akselerasi /deselerasi yang merusak sebagian besar akson di SSP akibat regangan
(2)         Lesi Kerusakan Vaskuler Otak : disebabkan oleh lesi sekunder iskemik terutama akibat hipoperfusi dan hipoksia yang dapat terjadi pada waktu selama perjananan ke RS atau selama perawatan
(3)         Lesi Fokal : Kontusio dan Laserasi Serebri serta Hematoma intrakranial
3)      Derajat Kesadaran
Kategori
GCS
Gambaran Klinik
Ringan
13-15
Pingsan 10’, komplikasi/defisit neurologik (-)
Sedang
9-12
Pingsan  > 10’-6 jam, komplikasi/defisit neurologik (+)
Berat
3-8
Pingsan  6 jam, komplikasi/defisit neurologik (+)




4.      PATOFISIOLOGI
Cedera pada otak bisa berasal dari trauma mendadak, langsung atau tidak langsung pada kepala yang menimbulkan  tiga mekanisme yang berpengaruh yaitu :  akselerasi  (benda bergerak membentur kepala yang diam misalnya terkena lemparan batu), deselerasi (kepala bergerak membentur benda yang diam misalnya kepala membentur tanah) dan deformitas adalah kerusakan pada bagian tubuh akibat trauma misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan otak.( Tarwoto dan Wartonah, 2007: 123)
Pada cidera kepala terjadi perdarahan kecil- kecil  pada permukaan otak yang tersebar melalui substansi otak daerah tersebut dan bila area contusio besar akan menimbulkan efek massa yang dapat menyebabkan  peningkatan Tekanan Intracranial/ TIK (Carolyn dan Barbara, 1996: 227).
Peningkatan  TIK menyebabkan aliran darah ke otak menurun dan terjadi berhentinya aliran darah ke otak/ iskemik Bila terjadi iskemik komplet dan lebih dari 3 sampai 5 menit, otak akan menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Pada iskemik serebral, pusat vasomotor terstimulasi dan tekanan sistemik meningkat untuk mempertahankan aliran darah yang disertai dengan lambatnya denyutan nadi dan pernafasan yang tidak teratur  Dampak dari peningkatan intracranial  yang lain diantaranya : penurunan kesadaran yang menyebabkan gangguan aktivitas dan gangguan persepsi sensori. Dampak terhadap medulla oblongata yang merupakan pusat pengatur pernafasan  terjadi gangguan pola nafas (Brunner dan Suddart, 2002: 2114)

5.      PENATALAKSANAAN 
 a.  Penatalaksanaan umum cidera kepala:
·   Monitor respirasi : bebaskan jalan nafas, monitor keadaan ventilasi,   periksa Analisa Gas Darah, berikan oksigan jika perlu
·   Monitor tekanan intrakranial
·   Atasi syok bila ada
·   Kontrol tanda vital
·   Keseimbangan cairan dan elektrolit
 b.  Operasi
Operasi dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intrasereberal, debridemen luka,dan prosedur shunting, jenis operasi tersebut adalah :.
·      Craniotomy adalah mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Ada tiga tipe craniotomy menurut letak insisi yaitu: craniotomy  supratentorial (diatas tentorium), infratentorial (dibawah tentorium)  dan craniotomy transfenoidal (melalui sinus mulut dan hidung )
·      Craniektomy adalah eksisi pada suatu bagian tengkorak.
·      Cranioplasty adalah perbaikan deffek kranial dengan menggunakan  plat logam atau plastik
·      Lubang burr / Burr holes adalah suatu tindakan pembuatan lubang pada tulang kepala yang bertujuan untuk diagnostik diantaranya untuk  mengetahui ada tidaknya perdarahan ekstra aksial, pembengkakan cereberal, cedera dan  mengetahui ukuran serta posisi ventrikel sebelum tindakan definitif craniotomy dilakukan. dan eksplorasi
c. Penatalaksanaan praoperasi :
    a)  Medik
·   Antikonvulsan ( Fenitoin ) diberikan sebelum pembedahan untuk   mengurangi risiko kejang pasca operasi
·   Steroid diberikan untuk mengurangi edema cerebral.
·   Agens hiperosmotik ( manitol) dan diuretik untuk individu yang mengalami disfungsi intrakranial dan cenderung menahan air.
·   Katether menetap dipasang untuk mengawasi haluaran urin
·   Antibiotik diberikan bila cereberal sempat terkontaminasi
·   Diazepam diberikan untuk menghilangkan ansietas.
b)      Penatalaksanaan keperawatan
Asuhan keperawatan preoperatif dimulai selama proses penerimaan pasien dengan parameter berikut  : 
·   A - Airway ( jalan nafas),
·   B - Breathing(pernafasan),
·   C – Circulation (sirkulasi), Cortex( kortex otak) dan  Cord Medula   spinalis
·   Pengkajian jalan nafas pasien terhadap kepatenan, jika tidak paten diperlukan bantuan dengan intubasi. Jika jalan nafas paten pengkajian dilakukan untuk memeriksa apakah pernafasan dan pertukaran oksigen adekuat.
·   Pengkajian sirkulasi dengan mengukur tekanan darah dan frekwensi jantung
·   Pengkajian sirkulasi korteks otak dipastikan dengan tingkat kesadaran pasien
·   Pengkajian medula spinalis melalui kemampuan untuk mengenali sensasi sentral, perifer dan  menggerakan ekstremitas berdasarkan perintah.           
·   Pengkajian psikososial : memberikan penjelasan kepada pasien sebelum operasi.
·   Persiapan fisik pasien : rambut kepala dicukur untuk mencegah infeksi.
d. Pascaoperasi :
     a) Penatalaksanaan keperawatan :
·   Pantau tanda-tanda vital : fluktuasi tanda vital adalah indikasi peningkatan tekanan itrakranial ( TIK)
·   Pantau pernafasan untuk memantau hipoksia yang dapat meningkatkan iskemik cereberal
·   Pantau suhu rectal untuk mengkaji hipothermi sekunder akibat kerusakan hipotalamus
·   Pantau tingkat kesadaran untuk mengetahui peningkatan TIK.
·   Kaji status neurologik : tingkat kesadaran, respon mata, respon motorik untuk memantau defisit neurologik : penurunan kesadaran, respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual (diplopia ,penglihatan kabur), parestesia atau kejang.
·   Inspeksi balutan untuk memantau adanya perdarahan dan drainase CSS.
b) Penatalaksanaan Medik
·   Diuretik untuk mengurangi edema serebral
·   Abtikonvulsan untuk menghentikan kejang
·   Kortikosteroid untuk menghambat pembentukan edema
·   Antagonis histamin utnuk mencegah terjadinya iritasi lambung karena -hperekskresi akibat efek trauma.
·   Antibiotik jika terjadi luka besar.

6.      KOMPLIKASI
Kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak. Komplikasi dari cedera kepala adalah:
1)      Peningkatan TIK
Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh hipertensi intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK) dihubungkan dengan penurunan tekanan perfusi dan aliran darah serebral (CBF) dibawah tingkat kritis (60 mmHg) yang berakibat kerusakan otak iskemik.
Pengendalian TIK yang berhasil mampu meningkatkan outcome yang signifikan. Telah dikembangkan pemantauan TIK tapi belum ditemukan metode yang lebih akurat dan non invasive.
Pemantauan TIK yang berkesinambungan bisa menunjukkan indikasi yang tepat untuk mulai terapi dan mengefektifkan terapi, serta menentukan prognosis.
TIK yang normal: 5-15 mmHg
TIK Ringan : 15 – 25 mmHg
TIK sedang : 25-40 mmHg
TIK berat : > 40 mmHg
Sebagian besar CSF diproduksi oleh pleksus choroidalis dari ventrikulus lateralis, sisanya dihasilkan oleh jaringan otak kemudian dialirkan langsung ke rongga sub arachnoid untuk diabsorpsi lewat vili arachnoid di sagitalis.
Pengikatan / penghilangan pleksus choroidalis akan menurunkan CSF 60%. Produksi CSF 0,3 – 0,5 cc/menit (450-500 cc/hari). Karena hanya ada volume 150cc CSF di otak dewasa, jadi ada 3 kali penggantian CSF selama sehari. Produksi CSF bersifat konstan dan tidak tergantung tekanan. Variasi pada TIK tidak mempengaruhi laju produksi CSF.
Absorpsi CSF secara langsung dipengaruhi oleh kenaikan TIK. Tempat utama penyerapan CSF, vili arachnoidalis (merupakan suatu katub yang diatur oleh tekanan). Bila fungsi katub rusak / jika tekanan sinus vena meningkat, maka absorpsi CSF menurun, maka terjadilah peningkatan CSF. Obstruksi terutama terjadi di aquaductus Sylvii dan cisterna basalis. Kalau aliran CSF tersumbat mengakibatkan hidrocephalus tipe obstruktif.
2)      Iskemia
Iskemia adalah simtoma berkurangnya aliran darah yang dapat menyebabkan perubahan fungsional pada sel normal.
Otak merupakan jaringan yang paling peka terhadap iskemia hingga episode iskemik yang sangat singkat pada neuron akan menginduksi serangkaian lintasan metabolisme yang berakhir dengan apoptosis. Iskemia otak diklasifikasikan menjadi dua subtipe yaitu iskemia global dan fokal. Pada iskemia global, setidaknya dua, atau empat pembuluh cervicalmengalami gangguan sirkulasi darah yang segera pulih beberapa saat kemudian. Pada iskemia fokal, sirkulasi darah pada pembuluh nadi otak tengah umumnya terhambat oleh gumpalan trombus sehingga memungkinkan terjadi reperfusi. Simtoma terhambatnya sirkulasi darah oleh gumpalan trombus disebut vascular occlusion.
3)      Perdarahan otak
a.       Epidural hematom:
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.
b.      Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
c.       Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
d.      Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
4)      Kejang pasca trauma.
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.
5)      Demam dan mengigil :
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.
6)      Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.
7)      Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam posisioning.
Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum, benzodiasepin
8)      Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
9)      Mood, tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.
Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan gangguan kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 40-50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan.
10)  Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama:
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori,
Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.



KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN CEDERA KEPALA

PENEGAKAN DIAGNOSIS
1.      Anamnesis
1)      Sebab-sebab cedera
2)      Lamanya tidak sadar
3)      Lamanya amnesia pasca trauma
4)      Adanya nyeri kepala, mual muntah, kebingungan, pusing  kepala, kecemasan, sukar untuk dibangunkan
2.      Pemeriksaan
1)      Bukti adanya cedera kepala tanda-tanda adanya fraktur tengkorak atau basis kranii
2)      Tanda-tanda vital
3)      Tingkat kesadaran
4)      Reaksi dan ukuran pupil, gerakan/posisi bola mata
5)      Kelemahan anggota gerak
6)      Perubahan tingkah laku
7)      Tanda-tanda cedera di organ atau tempat lain
3.      Pemeriksaan Penunjang
·                  Ct-Scan                             : Kemungkinan adanya subdural hematom, intrasereberal hematom, keadaan ventrikel.
·                  Foto X-Ray tengkorak      : Mengetahui adanya fraktur tengkorak, fragmen, tulang
·                  Foto X-Ray servikal          : Mengetahui adanya fraktur servikal.
·                  MRI                                  : Sama dengan CT Scan
·                  Laboratorium                    : Darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)


DIAGNOSA KEPERAWATAN:
1.     Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
2.     Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3.     Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
4.     Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.
5.     Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Dx I :
Tujuan: Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil: Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Rencana Tindakan :
1.      Tentukan faktor-faktor yg menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
2.      Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
3.      Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
4.      Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
5.      Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
6.      Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
7.      Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
8.      Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.
9.      Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
10.  Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
11.  Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik.

Dx II :
Tujuan: mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi: bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Rencana tindakan :
1.      Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
2.      Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
3.      Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
4.      Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
5.      Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
6.      Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
7.      Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
8.      Lakukan rontgen thoraks ulang.
9.      Berikan oksigenasi.
10.  Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.

Dx III :
Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Rencana tindakan :
1.      Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
2.      Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
3.      Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
4.      Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
5.      Berikan antibiotik sesuai indikasi

Dx IV :
Tujuan : Klien merasa nyaman.
Kriteria hasil : Klien akan melaporkan peningkatan kekuatan/ tahanan dan menyebutkan makanan yang harus dihindari.
Rencana tindakan :
1.      Dorong klien untuk berbaring dalam posisi terlentang dengan bantalan penghangat diatas abdomen.
2.      Singkirkan pemandangan yang tidak menyenangkan dan bau yang tidak sedap dari lingkungan klien.
3.      Dorong masukan jumlah kecil dan sering dari cairan jernih (misal : teh encer, air jahe, agar-agar, air) 30-60 ml tiap ½ -2 jam.
4.      Instruksikan klien untuk menghindari hal ini : Cairan yang panas dan dingin, makanan yang mengandung serat dan lemak (misal; susu, buah), Kafein

Dx V :
Tujuan : intake nutrisi meningkat, keseimbangan cairan dan elektrolit, berat badan stabil,  torgor kulit dan membran mukosa membaik, membantu keluarga dalam memenuhi kebutuhan nutrisi diberikan per oral, keluarga mampu menyebutkan pantangan yang tidak boleh dimakan, yaitu makan rendah garam dan rendah lemak.
Kriteria hasil : Klien dapat mengatakan kondisinya sudah mulai membaik dan tidak lemas lagi. Klien diberikan rentang skala (1-10).
Rencana tindakan :
1.      Mengkaji keadaan nutrisi untuk mengetahui intake nutrisi klien.
2.      Kaji faktor penyebab perubahan nutrisi (klien tidak nafsu makan, klien kurang makan makanan yang bergizi, keadaan klien lemah dan banyak mengeluarkan keringat).
3.      Kolaborasi dengan tim gizi tentang pemberian mekanan yang sesuai dengan program diet (rendah garam dan rendah lemak).
4.      Membantu keluarga dalam memberikan asupan makanan peroral dan menyarankan klien untuk menghindari makanan yang berpantangan dengan penyakitnya.
5.      Membantu memberikan vitamin dan mineral sesuai program.
6.      Kolaborasi dengan Tim dokter dalam pemberian Transfusi Infus RD 5% 1500 cc/24 jam dan NaCl.



                                                                                                                                   
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long, (1996), Perawatan Medikal Bedah Suatu Pendekatan Proses Keperawatan, Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, Bandung
Brunner & Suddarth, (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 3, Jakarta, EGC
Carpenito. Linda Juall, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 8, Jakarta, EGC
Doenges. M. E, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasi perawatan Pasien Edisi 3, Jakarta, EGC
Engelbert, J dan Bostford, (1993), Pemeriksaan Fisik Bedah, Yogyakarta, Yayasan Esentia Medica
Hudak dan Gallo, (1996), Keperawatan Kritis, edisi VI, Jakarta, EGC.
Nasrul Effendy, (1998), Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, Jakarta, EGC
Rothtrock. Jane C, (2000), Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif, Jakarta, EGC
Tarwoto, Wartonah, Eros, (2007), Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta, CV Sagung Seto

�Ufk-�e� �x;">10.  Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.

Dx III :
Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Rencana tindakan :
1.      Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
2.      Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
3.      Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
4.      Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
5.      Berikan antibiotik sesuai indikasi

Dx IV :
Tujuan : Klien merasa nyaman.
Kriteria hasil : Klien akan melaporkan peningkatan kekuatan/ tahanan dan menyebutkan makanan yang harus dihindari.
Rencana tindakan :
1.      Dorong klien untuk berbaring dalam posisi terlentang dengan bantalan penghangat diatas abdomen.
2.      Singkirkan pemandangan yang tidak menyenangkan dan bau yang tidak sedap dari lingkungan klien.
3.      Dorong masukan jumlah kecil dan sering dari cairan jernih (misal : teh encer, air jahe, agar-agar, air) 30-60 ml tiap ½ -2 jam.
4.      Instruksikan klien untuk menghindari hal ini : Cairan yang panas dan dingin, makanan yang mengandung serat dan lemak (misal; susu, buah), Kafein

Dx V :
Tujuan : intake nutrisi meningkat, keseimbangan cairan dan elektrolit, berat badan stabil,  torgor kulit dan membran mukosa membaik, membantu keluarga dalam memenuhi kebutuhan nutrisi diberikan per oral, keluarga mampu menyebutkan pantangan yang tidak boleh dimakan, yaitu makan rendah garam dan rendah lemak.
Kriteria hasil : Klien dapat mengatakan kondisinya sudah mulai membaik dan tidak lemas lagi. Klien diberikan rentang skala (1-10).
Rencana tindakan :
1.      Mengkaji keadaan nutrisi untuk mengetahui intake nutrisi klien.
2.      Kaji faktor penyebab perubahan nutrisi (klien tidak nafsu makan, klien kurang makan makanan yang bergizi, keadaan klien lemah dan banyak mengeluarkan keringat).
3.      Kolaborasi dengan tim gizi tentang pemberian mekanan yang sesuai dengan program diet (rendah garam dan rendah lemak).
4.      Membantu keluarga dalam memberikan asupan makanan peroral dan menyarankan klien untuk menghindari makanan yang berpantangan dengan penyakitnya.
5.      Membantu memberikan vitamin dan mineral sesuai program.
6.      Kolaborasi dengan Tim dokter dalam pemberian Transfusi Infus RD 5% 1500 cc/24 jam dan NaCl.



                                                                                                                                   
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long, (1996), Perawatan Medikal Bedah Suatu Pendekatan Proses Keperawatan, Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, Bandung
Brunner & Suddarth, (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 3, Jakarta, EGC
Carpenito. Linda Juall, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 8, Jakarta, EGC
Doenges. M. E, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasi perawatan Pasien Edisi 3, Jakarta, EGC
Engelbert, J dan Bostford, (1993), Pemeriksaan Fisik Bedah, Yogyakarta, Yayasan Esentia Medica
Hudak dan Gallo, (1996), Keperawatan Kritis, edisi VI, Jakarta, EGC.
Nasrul Effendy, (1998), Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, Jakarta, EGC
Rothtrock. Jane C, (2000), Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif, Jakarta, EGC
Tarwoto, Wartonah, Eros, (2007), Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta, CV Sagung Seto

No comments:

Post a Comment