TOKOH-TOKOH IDEALISME
1.
J.G. Fichte
(1762-1814 M)
Johan Gottlieb Fichte adalah filosof Jerman. Ia belajar teologi di Jena
pada tahun 1780-1788. Filsafat menurut Fichte haruslah dideduksi dari satu
prinsip. Ini sudah mencukupi untuk memenuhi tuntutan pemikiran, moral, bahkan
seluruh kebutuhan manusia. Prinsip yang dimaksud ada di dalam etika. Bukan
teori, melainkan prakteklah yang menjadi pusat yang disekitarnya kehidupan
diatur. Unsur esensial dalam pengalaman adalah tindakan, bukan fakta.
Menurut Fichte, dasar kepribadian adalah kemauan; bukan kemauan irasional
seperti pada Schopenhauer, melainkan kemauan yang dikontrol oleh kesadaran
bahwa kebebasan diperoleh hanya dengan melalui kepatuhan pada peraturan.
Kehidupan moral adalah kehidupan usaha. Manusia dihadapkan kepada
rintangan-rintangan, dan manusia digerakkan oleh rasa wajib bahwa ia berutang
pada aturan moral umum yang memungkinkannya mampu memilih yang baik. Idealisme
etis Fichte diringkaskan dalam pernyataan bahwa dunia aktual hanya dapat
dipahami sebagai bahan dari tugas-tugas kita. Oleh karena itu, filsafat bagi
Fichte adalah filsafat hidup yang terletak pada pemilihan antara moral
idealisme dan moral materialisme. Substansi materialisme menurut Fichte ialah
naluri, kenikmatan tak bertanggung jawab, bergantung pada keadaan, sedangkan
idealisme ialah kehidupan yang bergantung pada diri sendiri.
Menurut pendapatnya subjek “menciptakan” objek. Kenyataan pertama ialah
“saya yang sedang berpikir”, subjek menempatkan diri sebagai tesis. Tetapi
subjek memerlukan objek, seperti tangan kanan mengandaikan tangan kiri, dan ini
merupakan antitesis. Subjek dan objek yang dilihat dalam kesatuan disebut
sintesis. Segala sesuatu yang ada berasal dari tindak perbuatan sang Aku.
2.
F.W.J. Shelling
(1775-1854 M)
Friedrich Wilhelm Joseph Schelling sudang mencapai kematangan sebagai
filosof pada waktu ia masih amat muda. Pada tahun 1789, ketika usianya baru 23
tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas Jena. Sampai akhir hidupnya
pemikirannya selalu berkembang.
Seperti Fichte, Scelling mula-mula berusaha menggambarkan jalan dilalui
intelek dalam proses mengetahui, semacam epistemology. Fichte memandang alam
semesta sebagai lapangan tugas manusia dan sebagai basis kebebasan moral.
Schelling membahas realitas lebih objektif dan menyiapkan jalan bagi idealisme
absolute Hegel. Dalam pandangan Schelling, realitas adalah proses rasional
evolusi dunia menuju realisasinya berupa suatu ekspresi kebenaran terakhir.
Kita dapat mengetahui dunia secara sempurna dengan cara melacak proses logis
perubahan sifat dan sejarah masa lalu. Tujuan proses itu adalah suatu keadaan
kesadaran diri yang sempurna. Schelling menyebut proses iniidentitas
absolute, Hegel menyebutnya ideal.
Idealisme Schelling agak lebih objektif, karena menurut dia bukan-aku (objek)
ini sungguh-sungguh ada. Objek ini bukan hanya pertentangan belaka, melainkan
mempunyai nilai yang positif. Bagi Schelling, yang menjadi dasar kesungguhan
dan berpikir itu ialahaku. Dunia ini muncul daripada aku:
dunia yang tak terbatas itu sebenarnya tidak lain daripada produksi dan
reproduksi dari ciptaan aku.
Kemudian diakuinya kesungguhan alam, malahan dinyatakan bahwa subjek yang
berpikir (aku) itu muncul daripada alam. Tetapi ini jangan dianggap sama
sekali bertentangan dengan pendapatnya semula, sebab aku yang
muncul dari alam itu ialah akuyang telah sadar. Alam itu merupakan
proses evolusi, yang mengeluarkan budi yang sadar serta lambat laun sadar akan
dirinya (aku) dalam alam yang tak sadar.
Begitulah ia meningkat lagi dalam pandangannya terhadap alam: budi dan
dunia sama derajatnya hanya berhadapan sebagai subjek dan objek. Sebetulnya
samalah keduanya, bertemu pada asal semula ialah Tuhan, identitas yang mutlak,
juga disebutnya indiferensi yang mutlak. Ia tidak cenderung ke sana, maupun ke
sini. Dari situ muncullah alam dalam bentuknya yang makin tinggi derajatnya:
bahan, gerak, hidup, susunan-dunia, manusia. Dalam pada itu budipun sadar akan
dirinya menjelmakan ilmu,moral, seni, sejarah, dan Negara.
3.
G.W.F Hegel
(1798-1857 M)
Hegel lahir di Stuttgart, Jerman pada tanggal 17 Agustus 1770.
Ayahnya adalah seorang pegawai rendah bernama George Ludwig Hegel dan ibunya
yang tidak terkenal itu bernama Maria Magdalena. Pada usia 7 tahun ia memasuki
sekolah latin, kemudian gymnasium. Hegel muda ini tergolong anak telmi alias telat
mikir! Pada usia 18 tahun ia memasuki Universitas Tubingen. Setelah
menyelesaikan kuliah, ia menjadi seorang tutor, selain mengajar di Yena. Pada
usia 41 tahun ia menikah dengan Marie Von Tucher. Karirnya selain menjadi
direktur sekolah menengah, juga pernah menjadi redaktur surat kabar. Ia
diangkat menjadi guru besar di Heidelberg dan kemudian pindah ke Berlin hingga
ia menjadi Rektor Universitas Berlin (1830).
Pokok-pokok pikiran (filsafat)
Hegel
Tema fisafat Hegel adalah Ide Mutlak. Oleh karena itu,
semua pemikirannya tidak terlepas dari ide mutlak, baik berkenaan dari
sistemnya, proses dialektiknya, maupun titik awal dan titik akhir kefilsafatannya.
Oleh karena itu pulalah filsafatnya disebut filsafat idealis, suatu filsafat
yang menetapkan wujud yang pertama adalah ide (jiwa).
a.
Rasio, ide, dan
roh
Hegel sangat mementingkan rasio, tentu saja karena ia seorang idealis. Yang
dimaksud olehnya bukan saja rasio pada manusia perseorangan, tetapi rasio
pada subjek absolut karena Hegel juga menerima prinsip
idealistik bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu subjek.
Dalil Hegel yang kemudian terkenal berbunyi: “ Semua yang real bersifat
rasional dan semua yang rasional bersifat real.” Maksudnya, luasnya rasio sama
dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran (idea,
menurut istilah Hegel) yang memikirkan dirinya sendiri. Atau dengan perkataan
lain, realitas seluruhnya adalah Roh yang lambat laun menjadi
sadar akan dirinya. Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja beraksi terhadap
kecenderungan intelektual ketika itu yang mencurigai rasio sambil mengutamakan
perasaan.
Pusat fisafat Hegel ialah konsep Geist (roh,spirit), suatu
istilah yang diilhami oleh agamanya. Istilah ini agak sulit dipahami. Roh dalam
pandangan Hegel adalah sesuatu yang real, kongkret, kekuatan yang objektif,
menjelma dalam berbagai bentuk sebagai world of spirit (dunia
roh), yang menempatkan ke dalam objek-objek khusus. Di dalam kesadaran diri,
roh itu merupakan esensi manusia dan juga esensi sejarah manusia.
Demi alam kembalilah idea atau roh kepada diri sendiri. Dalam fase ini,
mula-mula roh itu merupakan roh subjektif, kemudian roh objektif, dan akhirnya
roh mutlak.
Sebagai roh subjektif, roh itu mengenal dirinya dan merupakan tiga
tingkatan: antropologi, fenomologi, dan psikologi. Dalam antropologi, kenallah
roh itu akan dirinya dalam penjelmaan pada alam. Dalam fenomenologi, kenallah
ia akan dirinya dalam perbedaannya dengan alam. Adapun pada psikologi, roh
mengenal dirinya dalam kemerdekaan terhadap alam, mula-mula teoritis, kemudian
praktis dan akhirnya merdekalah roh itu.
Maka meningkatlah kepada roh objektif. Roh objektif ini roh mutlak yang
menjelma pada bentuk-bentuk kemasyarakatan manusia, hak dan hukum kesusilaan
dan kebajikan. Dalam hak dan hukum terdapat penjelmaan roh merdeka itu pada
hukum-hukum umum. Di samping itu adalah kesusilaan yang merupakan kebatinan.
Pada sintesis keduanya itu terlahirlah kebajikan. Sampailah sekarang kepada roh mutlak. Roh mutlak itu
ialah idea yang mengenal dirinya dengan sempurna itu merupakan sintesis dari
roh subjektif dan objektif. Tak ada lagi, pertentangan antara subjek dan objek
antara berpikir dan ada.Oleh karena roh mutlak ini sebenarnya gerak
juga, maka ia menunjukkan perkembangan juga: seni (tesis), agama (antitesis)
dan kemudian filsafat (sintesis). Seni itu memperlihatkan idea dalam pandangan
indera terhadap dunia, objeknya masih di luar subjek. Adapun agama tidak lagi
mempunyai subjek di luar objek, melainkan di dalamnya. Tetapi segala pengertian
dan gambaran agama itu dianggap ada. Filsafat akhirnya merupakan sintesis dari
seni dan agama,merupakan paduan yang lebih tinggi. Di sinilah idea mengenal
dirinya dengan sempurna. Dalam sejarah filsafat ternyata benar gerak idea itu,
yaitu tesis, antitesis, dan akhirnya sintesis. Misalnya: Parmenides (tesis),
Heraklitos (antitesis), dan Plato (sintesis).
b.
Dialektika
Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel menggunakan dialektika sebagai metode.
Yang dimaksud oleh Hegel dengan dialektika adalah mendamaikan, mengompromikan
hal-hal yang berlawanan.
Proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Fase pertama (tesis)
dihadapi antitesis (fase kedua), dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis).
Dalam sintesis itu, tesis dan antitesis menghilang. Dapat juga tidak
menghilang, ia masih ada, tetapi sudah diangkat pada tingkat yang lebih tinggi.
Proses ini berlangsung terus. Sintesis segera menjadi tesis baru, dihadapi oleh
antitesis baru, dan menghasilkan sintesis baru lagi, dan seterusnya.
Tesis adalah pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang
dikemukakan, lalu antitesis adalah pengungkapan gagasan yang bertentangan.
Sedangkan sintetis adalah paduan (campuran) berbagai pengertian atau hal
sehingga merupakan kesatuan yang selaras.
Contoh tesis, antitesis, dan sintesis
1)
Yang “ada” (being)
merupakan tesis kemudian berkontraksi dengan “tak ada” (not being)
sebagai antitesis, kemudian menghasilkan menjadi (becoming) sebagai
sintesis.
2)
Dalam
keluarga,suami-istri adalah dua makhluk berlainan yang dapat berupa tesis dan
antitesis. Anak dapat merupakan sintesis yang mendamaikan tesis dan antitesis.
3)
Mengenai bentuk
Negara
Tesis : Negara
diktator. Di Negara ini hidup kemasyarakatan diatur dengan baik, tetapi
para warganya tidak mempunyai kebebasan apapun juga.
Antitesis: : Negara
anarki. Dalam Negara anarki para warganya mempunyai
kebebasan tanpa batas, tetapi hidup kemasyarakatan
menjadi kacau.
Sintesis : Negara
konstitusional. Sintesis ini mendamaikan antara pemerintahan diktator dengan
anarki menjadi demokrasi.[18]
No comments:
Post a Comment