BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya tubuh kita memiliki
imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas
spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel
limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE)
dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila
mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat
limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh,
maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini
merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun.
Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah
reaksi hipersensitivitas atau alergi.
B. TUJUAN KHUSUS
Tujuan khusus penulis membuat makalah
ini adalah supaya penulis lebih mengetahui dan memahami tentang definisi reaksi
HIPERSENSITIVITAS pada tubuh manusia serta dapat menerapkan Ilmu Keperawatan
untuk penanganan pasien yang menderita reaksi HIPERSENSITIVITAS.
C. TUJUAN UMUM
Tujuan umum penulis membuat makalah ini
adalah supaya para pembaca dapat mengetahui definisi dari reaksi
HIPERSENSITIVITAS. Tentang gejala yang timbul sebab akibat sampai cara
pengobatan yang tepat untuk penderita reaksi HIPERSENSITIVITAS.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
DEFINISI
Alergi atau hipersensitivitas adalah
kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam
bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik.
Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau
bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang
menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.
Reaksi
hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
1.
Tipe I : Reaksi Anafilaksi
Di sini antigen atau alergen bebas akan
bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau
sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi
tipe cepat.
Hipersensitifitas tipe I disebut juga
sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan
dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai
dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30
menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami
keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai
oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler
utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan
untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan
intradermal) danELISA untuk mengukur IgE total dan
antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang
dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi
akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh
alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit
non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh
untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk
memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2. Tipe II : reaksi sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan
oleh antibodi berupaimunoglobulin G (IgG)
dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan
antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas
atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen
tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen
permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target
sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan
reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan dengan antibodi sel
sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:
§ Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di
antara sel epidermal).
§ Anemia
hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti
hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah
merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
§ Sindrom
Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal).
3.
Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan
antigen dan komplemen membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkanneurotrophichemotactic
factor yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan
lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di
kornea dapat berupa keratitis herpes simpleks, keratitis karena
bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada
keratitis Herpes simpleks.
4.
Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Sedangkan pada tipe IV yang berperan
adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized
T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator
(limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton-
jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis.
Sedangkan
yang akan kita bahas saat ini adalah hiperensitivitas
tipe II atau sitotoksik diperantarai oleh antibodi yang diarahkan
untuk melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya.
Antigen tersebut dapat merupakan molekul intrinsic normal bagi membrane sel
atau matriks ekstraseluler atau dapat merupakan antigen eksogen yang diabsorbsi
(misalnya metabolit obat). Respon hipersensitivitas disebabkan oleh
pengikatan antibodi yang di ikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung
antibodi, yaitu:
1.
Opsonisasi dan Fagositosis yang diperantarai Komplemen dan Fc
Receptor
Sel-sel yang menjadi target antibodi diopsonisasi
oleh molekul-molekul yang mampu menarik fagosit, sehingga sel-sel
tersebut mengalami deplesi. Saat antibodi (IgG/IgM) terikat pada
permukaan sel, terjadi pengaktifan sistem komplemen. Aktivasi komplemen
terutama menghasilkan C3b dan C4b, yang akan terikat pada permukaan sel. C3b
dan C4b ini akan dikenali oleh fagosit yang mengekspresikan reseptor C3b dan
C4b. Sebagai tambahan, sel-sel yang di-opsonisasi oleh antibodi IgG dikenali
oleh fagosit reseptor Fc. Hasil akhirnya yaitu fagositosis dari sel
yang di-opsonisasi, kemudian sel tersebut dihancurkan. Aktivasi komplemen juga
menyebabkan terbentuknya membrane attack complex, yang mengganggu integritas
membran dengan membuat ‘lubang-lubang’ menembus lipid bilayer, sehingga terjadi
lisis osmotik sel.
Kerusakan sel yang dimediasi antibodi dapat terjadi melalui
proses lain yaituantibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Bentuk
jejas yang ditimbulkan tidak melibatkan fiksasi komplemen melainkan membutuhkan
kerjasama leukosit. Sel yang di selubungi dengan IgG konsentrasi rendah lalu
dibunuh oleh berbagai macam sel efektor yang berikatan pada sel target
dengan reseptor untuk fragmen Fc dari IgG dan sel akan lisis tanpa
mengalami fagositosis. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam
leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipun secara
khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalam kasus tertentu (misalnya,
pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah
IgE. Peran dari ADCC dalam hipersensitivitas masih belum dapat dipastikan
Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh
antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:
Ø Reaksi transfusi, sel
darah merah dari seorang donor yang tidak sesuai dirusak setelah diikat oleh
antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor. Reaksi
dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas
golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Antibodi
golongan ini menimbulkan aglutinasi, aktivasi komplemen, dan hemolisis
intravaskular.Dalam
beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan di saring
melalui ginjal (hemoglobinuria). Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin
yang pada kadar tinggi dapat bersifat toksik. Gejala khasnya dapat berupa
demam, menggigil, nausea, demam, nyeri pinggang dan hemoglubinuria.
Ø Hal
serupa terjadi pada hemolytic diseases of
the newborn (HDN) akibat ketidaksesuaian
faktor Rhesus (Rhesus Incompatibility) dimana
anti-D IgG yang berasal dari ibu menembus plasenta masuk ke dalam sirkulasi
darah janin dan melapisi permukaan eritrosit janin kemudian mencetuskan reaksi
hipersensitivitas tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu Rh- mempunyai janin
Rh+. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat persalinan pertama, karena
itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya
limfosit ibu akan membentuk anti-D IgG yang dapat menembus plasenta dan
mengadakan interaksi dengan faktor Rh pada permukaan eritrosit janin
(eritroblastosis fetalis).
Ø Anemia hemolitik
autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh antibodi
yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel
darah merahnya sendiri.
Ø Reaksi obat, antibodi
diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau metabolitnya) yang secara
nonspesifik diabsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah hemolisis yang
dapat terjadi setelah pemberian penisilin).
2.
Inflamasi yang diperantarai Komplemen dan Fc Receptor
Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal
dan matriks), kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukan
fagositosis/lisis sel. Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan
komplemen, yang selanjutnya menghasilkan terutama C5a (yang menarik neutrofil
dan monosit). Sel yang sama juga berikatan dengan antibodi melalui reseptor Fc.
Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan perusak (enzim dan intermediate oksigen
reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan jaringan. Reaksi ini berperan pada
glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ grafts.
3.
Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibody
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan
reseptor permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas
sel atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap
reseptor asetilkolin dalam motor end-plate otot-otot rangka mengganggu
transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip dari
reaksi hipersensitivitas tipe II adalah adanya mediasi dari antibodi untuk
menyebabkan sitolitik pada sel terinfeksi melalui opsonisasi antigen yang
menempel pada permukaan membran sel. Kasus pada pemicu akibat adanya pengaruh
obat bisa menjadi reaksi hipersensitivitas tipe II melalui adanya pembentukan
kompleks antigen-antibodi. Namun, hal tersebut sulit untuk dibuktikan karena
efek reaksi obat yang begitu cepat lebih mengarah pada adanya anafilaktik obat
yang merupakan manifestasi dari reaksi hipersensitivitas tipe I
B.
ETIOLOGI
Faktor
yang berperan dalam alergi di bagi menjadi 2 yaitu :
a.
Faktor Internal
1)
Imaturitas usus secara fungsional
(misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx)
maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan
penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus
mentoleransi makanan tertentu.
2)
Genetik berperan dalam alergi makanan.
Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini
dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
3)
.Mukosa dinding saluran cerna belum
matang yang menyebabkan penyerapan alergen bertambah.
b.
Fakor Eksternal
1)
Faktor pencetus : faktor fisik (dingin,
panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah
raga).
2)
Contoh makanan yang dapat memberikan
reaksi alergi menurut prevalensinya
Ikan 15,4 %
Telur 12,7 % Susu 12,2 % Kacang 5,3 % Gandum 4,7 % |
Apel
4,7 %
Kentang 2,6 % Coklat 2,1 % Babi 1,5 % Sapi 3,1 % |
||
3)
Hampir semua jenis makanan dan zat
tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.
C.
PATOFISIOLOGI
Saat pertama kali masuknya alergen
(ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang mengkonsumsi makanan
tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang
tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala – gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda – tanda itu muncul
maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya
sel T ,dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk
mengaktifkan antibodi ( Ig E ). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi
pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami
paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2
hal yaitu,:
1.
Ketika mulai terjadinya produksi sitokin
oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam
menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan
reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2.
Alergen tersebut akan langsung
mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan
histamin dalam jumlah yang banyak , kemudian histamin tersebut beredar di dalam
tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit,
alergen akan menyebabkan terjadinya
gatal,prutitus,angioderma,urtikaria,kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada
saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma.
Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok.
Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan
bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian
D.
TANDA
DAN GEJALA
Adapun
Gejala klinisnya :
1.
Pada saluran pernafasan : asma
2.
Pada saluran cerna:
mual,muntah,diare,nyeri perut
3.
Pada kulit: urtikaria.
angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4.
Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan
bibir
E.
PEMERIKSAAN
FISIK
v Inspeksi
: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya
urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir
v Palpasi
: ada nyeri tekan pada kemerahan
v Perkusi
: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
v Auskultasi
: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang
menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)
F.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
§ Uji
kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup
seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau
alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
§ Darah
tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung
leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
§ IgE
total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun.
Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah
atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
§ Tes
intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
§ Tes
hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
§ Biopsi
usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan
inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM.
IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
§ Pemeriksaan/
tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
§ Diit
coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
G.
DIAGNOSTIK
Ø Gangguan
saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik,
Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi,
cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
Ø Reaksi
karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan
pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine,
toksin, fungi (aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri
(Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus),
parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal
alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin
(tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
Ø Reaksi
psikologi
H.
PROGNOSIS
Alergi makanan biasanya akan membaik
pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran cerna akan
membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna karena alergi
makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik maka
biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada
usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan berkurang secara bertahap.
Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya usia inilah yang
menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya akan tampak mulai membaik
sejak periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya
akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2010.p.370-83
Brunner & Suddarth. 2002. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC..
Carpenito LD.1995.Diagnosa
Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta: EGC. www.medikaholistik.com
Kumar, Abbas,
Fausto. Robbins
and Cotran: Pathologic basis of disease. 7th ed. China:
Elsevier Saunders; 2005.
Price & Wilson.2003.Patofisiologi
konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2.Edisi 6.Jakarta:EGC.
No comments:
Post a Comment