ASUHAN PERAWATAN KLIEN DENGAN CIDERA KEPALA
DISUSUN
OLEH :
PEPI
H. PUTERA
RSUD
R SYAMSUDIN, SH
SUKABUMI
2013
KONSEP
TEORI CIDERA KEPALA
1. PENGERTIAN
Trauma kepala adalah suatu trauma
yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi
akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.
Suatu
gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai / tanpa disertai perdarahan
interstitial dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
jaringan otak.
Merupakan suatu keadaan gawat
darurat neurologic, memerlukan penanganan yang cepat,cermat dan tepat karena
dapat mentebabkan cacat dan kematian
Cedera kepala dapat meliputi :
1. Luka
pada kulit kepala
2. Fraktur
tulang tengkorak
3. Robekan
selaput otak
4. Kerusakan
pembuluh darah otak
5. Kerusakan
pada jaringan otak
Trauma pada kepala dapat
mengakibatkan
1) Kerusakan
Primer
Kerusakan otak tahap awal yang
diakibatkan oleh benturan langsung atau proses mekanik yang membentur kepala.
Berat ringannya kerusakan tergantung :
(1) Kuatnya
benturan
(2) Kondisi
kepala pada saat terjadi benturan (diam atau bergerak)
(3) Adanya
proses Akselerasi dan Deselerasi
(4) Bentuk
objek yang menghantam
Kerusakan primer dapat mengakibatkan
: Fraktur tengkorak, Perdarahan (subdural, epidural atau pada intraserebral),
Robekan/regangan serabut syaraf dan kematian neuron
2) Kerusakan
Sekunder
Terjadi akibat lanjutan dari
kerusakan otak primer, kemungkinan karena adanya : edema serebri, iskemia otak,
perdarahan intrakranial lanjutan, infeksi, hipoksia, hipotensi ataupun serangan
kejang.
2. ETIOLOGI
Cidera kepala dapat disebabkan
karena :
Kecelakaan lalu lintas, terjatuh,
kecelakaan industri, kecelakaan olah raga, luka persalinan pada bayi baru
lahir ( Tarwoto, Wartonah, 2007 : 125)
3. KLASIFIKASI
1) Patofisologi
(1) Komosio
Serebri : tidak ada jaringan otak yang rusak, kemungkinan ada kehilangan fungsi
otak sesaat, berupa pingsan < 10 menit, atau amnesia pasca trauma
(2) Kontusio
Serebri : kerusakan otak dengan defisit neurologik, pingsan < 10 menit
(3) Laserasi
Serebri : kerusakan otak yang luas, umumnya disertai dengan fraktur tengkorak
terbuka
2) Lokasi
(1) Lesi
Difus : kerusakan akibat proses akselerasi /deselerasi yang merusak sebagian
besar akson di SSP akibat regangan
(2) Lesi
Kerusakan Vaskuler Otak : disebabkan oleh lesi sekunder iskemik terutama akibat
hipoperfusi dan hipoksia yang dapat terjadi pada waktu selama perjananan ke RS
atau selama perawatan
(3) Lesi
Fokal : Kontusio dan Laserasi Serebri serta Hematoma intrakranial
3) Derajat
Kesadaran
Kategori
|
GCS
|
Gambaran
Klinik
|
Ringan
|
13-15
|
Pingsan
10’, komplikasi/defisit neurologik (-)
|
Sedang
|
9-12
|
Pingsan
> 10’-6 jam, komplikasi/defisit neurologik (+)
|
Berat
|
3-8
|
Pingsan
6 jam, komplikasi/defisit neurologik (+)
|
4. PATOFISIOLOGI
Cedera pada otak bisa berasal dari
trauma mendadak, langsung atau tidak langsung pada kepala yang
menimbulkan tiga mekanisme yang berpengaruh yaitu :
akselerasi (benda bergerak membentur kepala yang diam misalnya terkena
lemparan batu), deselerasi (kepala bergerak membentur benda yang diam misalnya
kepala membentur tanah) dan deformitas adalah kerusakan pada bagian tubuh
akibat trauma misalnya adanya fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau
pemotongan otak.( Tarwoto dan Wartonah, 2007: 123)
Pada cidera kepala terjadi
perdarahan kecil- kecil pada permukaan otak yang tersebar melalui
substansi otak daerah tersebut dan bila area contusio besar akan menimbulkan
efek massa yang dapat menyebabkan peningkatan Tekanan Intracranial/ TIK (Carolyn
dan Barbara, 1996: 227).
Peningkatan TIK menyebabkan
aliran darah ke otak menurun dan terjadi berhentinya aliran darah ke otak/
iskemik Bila terjadi iskemik komplet dan lebih dari 3 sampai 5 menit, otak akan
menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Pada iskemik serebral, pusat
vasomotor terstimulasi dan tekanan sistemik meningkat untuk mempertahankan
aliran darah yang disertai dengan lambatnya denyutan nadi dan pernafasan yang
tidak teratur Dampak dari peningkatan intracranial yang lain diantaranya
: penurunan kesadaran yang menyebabkan gangguan aktivitas dan gangguan persepsi
sensori. Dampak terhadap medulla oblongata yang merupakan pusat pengatur
pernafasan terjadi gangguan pola nafas (Brunner dan Suddart, 2002: 2114)
5. PENATALAKSANAAN
a.
Penatalaksanaan umum cidera kepala:
· Monitor
respirasi : bebaskan jalan nafas, monitor keadaan ventilasi,
periksa Analisa Gas Darah, berikan oksigan jika perlu
· Monitor tekanan
intrakranial
· Atasi syok bila
ada
· Kontrol tanda
vital
· Keseimbangan
cairan dan elektrolit
b.
Operasi
Operasi
dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intrasereberal, debridemen luka,dan
prosedur shunting, jenis operasi tersebut adalah :.
· Craniotomy adalah mencakup pembukaan tengkorak
melalui pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. Ada
tiga tipe craniotomy menurut letak insisi yaitu: craniotomy supratentorial (diatas
tentorium), infratentorial (dibawah
tentorium) dan craniotomy transfenoidal (melalui sinus
mulut dan hidung )
· Craniektomy adalah eksisi
pada suatu bagian tengkorak.
· Cranioplasty adalah
perbaikan deffek kranial dengan menggunakan plat logam atau plastik
· Lubang burr / Burr holes adalah suatu
tindakan pembuatan lubang pada tulang kepala yang bertujuan untuk diagnostik
diantaranya untuk mengetahui ada tidaknya perdarahan ekstra aksial,
pembengkakan cereberal, cedera dan mengetahui ukuran serta posisi
ventrikel sebelum tindakan definitif craniotomy dilakukan. dan eksplorasi
c.
Penatalaksanaan praoperasi :
a) Medik
· Antikonvulsan (
Fenitoin ) diberikan sebelum pembedahan untuk mengurangi risiko
kejang pasca operasi
· Steroid
diberikan untuk mengurangi edema cerebral.
· Agens
hiperosmotik ( manitol) dan diuretik untuk individu yang mengalami disfungsi
intrakranial dan cenderung menahan air.
· Katether
menetap dipasang untuk mengawasi haluaran urin
· Antibiotik
diberikan bila cereberal sempat terkontaminasi
· Diazepam
diberikan untuk menghilangkan ansietas.
b) Penatalaksanaan
keperawatan
Asuhan
keperawatan preoperatif dimulai selama proses penerimaan pasien dengan
parameter berikut :
· A - Airway (
jalan nafas),
· B -
Breathing(pernafasan),
· C – Circulation
(sirkulasi), Cortex( kortex otak) dan Cord Medula spinalis
· Pengkajian
jalan nafas pasien terhadap kepatenan, jika tidak paten diperlukan bantuan
dengan intubasi. Jika jalan nafas paten pengkajian dilakukan untuk memeriksa
apakah pernafasan dan pertukaran oksigen adekuat.
· Pengkajian
sirkulasi dengan mengukur tekanan darah dan frekwensi jantung
· Pengkajian
sirkulasi korteks otak dipastikan dengan tingkat kesadaran pasien
· Pengkajian
medula spinalis melalui kemampuan untuk mengenali sensasi sentral, perifer
dan menggerakan ekstremitas berdasarkan
perintah.
· Pengkajian
psikososial : memberikan penjelasan kepada pasien sebelum operasi.
· Persiapan fisik
pasien : rambut kepala dicukur untuk mencegah infeksi.
d. Pascaoperasi
:
a) Penatalaksanaan keperawatan :
· Pantau
tanda-tanda vital : fluktuasi tanda vital adalah indikasi peningkatan tekanan
itrakranial ( TIK)
· Pantau
pernafasan untuk memantau hipoksia yang dapat meningkatkan iskemik cereberal
· Pantau suhu
rectal untuk mengkaji hipothermi sekunder akibat kerusakan hipotalamus
· Pantau tingkat
kesadaran untuk mengetahui peningkatan TIK.
· Kaji status
neurologik : tingkat kesadaran, respon mata, respon motorik untuk memantau
defisit neurologik : penurunan kesadaran, respon terhadap rangsang, masalah
bicara, kesulitan menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan
visual (diplopia ,penglihatan kabur), parestesia atau kejang.
· Inspeksi
balutan untuk memantau adanya perdarahan dan drainase CSS.
b)
Penatalaksanaan Medik
· Diuretik untuk
mengurangi edema serebral
· Abtikonvulsan
untuk menghentikan kejang
· Kortikosteroid
untuk menghambat pembentukan edema
· Antagonis
histamin utnuk mencegah terjadinya iritasi lambung karena -hperekskresi akibat
efek trauma.
· Antibiotik jika
terjadi luka besar.
6. KOMPLIKASI
Kemunduran pada kondisi klien
diakibatkan dari perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan
herniasi otak. Komplikasi dari cedera kepala adalah:
1) Peningkatan
TIK
Lebih dari separuh kematian karena
trauma kepala disebabkan oleh hipertensi intrakranial. Kenaikan tekanan
intrakranial (TIK) dihubungkan dengan penurunan tekanan perfusi dan aliran
darah serebral (CBF) dibawah tingkat kritis (60 mmHg) yang berakibat kerusakan
otak iskemik.
Pengendalian
TIK yang berhasil mampu meningkatkan outcome yang signifikan. Telah dikembangkan pemantauan TIK tapi belum ditemukan
metode yang lebih akurat dan non invasive.
Pemantauan TIK yang berkesinambungan
bisa menunjukkan indikasi yang tepat untuk mulai terapi dan mengefektifkan
terapi, serta menentukan prognosis.
TIK yang
normal: 5-15 mmHg
TIK Ringan : 15
– 25 mmHg
TIK sedang :
25-40 mmHg
TIK berat :
> 40 mmHg
Sebagian besar
CSF diproduksi oleh pleksus choroidalis dari ventrikulus lateralis, sisanya
dihasilkan oleh jaringan otak kemudian dialirkan langsung ke rongga sub
arachnoid untuk diabsorpsi lewat vili arachnoid di sagitalis.
Pengikatan /
penghilangan pleksus choroidalis akan menurunkan CSF 60%. Produksi CSF 0,3 –
0,5 cc/menit (450-500 cc/hari). Karena hanya ada volume 150cc CSF di otak
dewasa, jadi ada 3 kali penggantian CSF selama sehari. Produksi CSF bersifat
konstan dan tidak tergantung tekanan. Variasi pada TIK tidak mempengaruhi laju
produksi CSF.
Absorpsi CSF
secara langsung dipengaruhi oleh kenaikan TIK. Tempat utama penyerapan CSF,
vili arachnoidalis (merupakan suatu katub yang diatur oleh tekanan). Bila
fungsi katub rusak / jika tekanan sinus vena meningkat, maka absorpsi CSF
menurun, maka terjadilah peningkatan CSF. Obstruksi terutama terjadi di
aquaductus Sylvii dan cisterna basalis. Kalau aliran CSF tersumbat
mengakibatkan hidrocephalus tipe obstruktif.
2) Iskemia
Iskemia adalah simtoma
berkurangnya aliran darah yang dapat menyebabkan perubahan fungsional pada sel
normal.
Otak merupakan jaringan yang paling
peka terhadap iskemia hingga episode iskemik yang sangat singkat pada neuron
akan menginduksi serangkaian lintasan metabolisme yang berakhir dengan
apoptosis. Iskemia otak diklasifikasikan menjadi dua subtipe yaitu iskemia
global dan fokal. Pada iskemia global, setidaknya dua, atau empat
pembuluh cervicalmengalami gangguan sirkulasi darah yang segera
pulih beberapa saat kemudian. Pada iskemia fokal, sirkulasi darah pada pembuluh
nadi otak tengah umumnya terhambat oleh gumpalan trombus sehingga memungkinkan
terjadi reperfusi. Simtoma terhambatnya sirkulasi darah oleh gumpalan trombus
disebut vascular occlusion.
3) Perdarahan
otak
a. Epidural
hematom:
Terdapat pengumpulan darah diantara
tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang
arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak
dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa
jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan
parietalis.
Tanda dan gejala: penurunan tingkat
kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral,
pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi,
peningkatan suhu.
b. Subdural
hematoma
Terkumpulnya
darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik.
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya
terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut
terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2
minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan
gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang
dan edema pupil.
c. Perdarahan
intraserebral
Perdarahan di
jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan
gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi
kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
d. Perdarahan
subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga
subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu
ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala,
penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.
4) Kejang
pasca trauma.
Merupakan salah satu komplikasi
serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera),
terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma
penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium,
kontusio serebri, GCS <10.
5) Demam
dan mengigil :
Demam dan mengigil akan meningkatkan
kebutuhan metabolism dan memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat
kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen,
neuro muscular paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma
barbiturat, asetazolamid.
6) Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi
dibagi menjadi komunikan dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering
terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi
sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus
ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan
miksi.
7) Spastisitas
:
Spastisitas adalah fungsi tonus yang
meningkat tergantung pada kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN.
Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan pada
: Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam
posisioning.
Terapi primer dengan koreksi posisi
dan latihan ROM, terapi sekunder dengan splinting, casting, farmakologi:
dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum, benzodiasepin
8) Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi
> 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia,
disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan
penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain
dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron,
stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
9) Mood,
tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku
lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka
lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih
terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat
pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%.
Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.
Cicerone (2002) meneliti
rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan gangguan kognitif.
Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem gangguan
perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae dilaporkan
dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat
memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan
minor ditemukan 40-50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah
wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku dapat
membaik dengan antidepresan.
10) Sindroma
post kontusio
Merupakan komplek gejala yang
berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan
pertama dan 15% pada tahun pertama:
Somatik : nyeri kepala, gangguan
tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya,
kognitif: perhatian, konsentrasi, memori,
Afektif: iritabel, cemas, depresi,
emosi labil.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PADA
KLIEN DENGAN CEDERA KEPALA
PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
1) Sebab-sebab
cedera
2) Lamanya
tidak sadar
3) Lamanya
amnesia pasca trauma
4) Adanya
nyeri kepala, mual muntah, kebingungan, pusing kepala, kecemasan, sukar
untuk dibangunkan
2. Pemeriksaan
1) Bukti
adanya cedera kepala tanda-tanda adanya fraktur tengkorak atau basis kranii
2) Tanda-tanda
vital
3) Tingkat
kesadaran
4) Reaksi
dan ukuran pupil, gerakan/posisi bola mata
5) Kelemahan
anggota gerak
6) Perubahan
tingkah laku
7) Tanda-tanda
cedera di organ atau tempat lain
3. Pemeriksaan
Penunjang
· Ct-Scan
: Kemungkinan adanya subdural hematom, intrasereberal hematom, keadaan
ventrikel.
· Foto X-Ray tengkorak :
Mengetahui adanya fraktur tengkorak, fragmen, tulang
· Foto X-Ray servikal
: Mengetahui adanya fraktur servikal.
· MRI
: Sama dengan CT Scan
· Laboratorium
: Darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
DIAGNOSA KEPERAWATAN:
1. Perubahan
perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung)
2. Resiko
tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
(cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif.
Obstruksi trakeobronkhial.
3. Resiko
tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan
nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas
sistem tertutup (kebocoran CSS)
4. Kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan
kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring,
imobilisasi.
5. Resiko
tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat
kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status
hipermetabolik.
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Dx I :
Tujuan: Mempertahankan tingkat
kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil: Tanda vital stabil
dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK.
Rencana Tindakan :
1. Tentukan
faktor-faktor yg menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial
peningkatan TIK.
2. Pantau
/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar
GCS.
3. Evaluasi
keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
4. Pantau
tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
5. Pantau
intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
6. Turunkan
stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
7. Bantu
pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
8. Tinggikan
kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.
9. Batasi
pemberian cairan sesuai indikasi.
10. Berikan
oksigen tambahan sesuai indikasi.
11. Berikan
obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik,
sedatif, antipiretik.
Dx II :
Tujuan: mempertahankan pola
pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi: bebas sianosis,
GDA dalam batas normal
Rencana tindakan :
1. Pantau
frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
2. Pantau
dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi
jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
3. Angkat
kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
4. Anjurkan
pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
5. Lakukan
penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat
karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
6. Auskultasi
suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang
tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
7. Pantau
analisa gas darah, tekanan oksimetri
8. Lakukan
rontgen thoraks ulang.
9. Berikan
oksigenasi.
10. Lakukan
fisioterapi dada jika ada indikasi.
Dx III :
Tujuan: Mempertahankan normotermia,
bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi: Mencapai
penyembuhan luka tepat waktu.
Rencana tindakan :
1. Berikan
perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
2. Observasi
daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat
karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
3. Pantau
suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan
perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
4. Anjurkan
untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus
menerus. Observasi karakteristik sputum.
5. Berikan
antibiotik sesuai indikasi
Dx IV :
Tujuan : Klien merasa nyaman.
Kriteria hasil : Klien akan
melaporkan peningkatan kekuatan/ tahanan dan menyebutkan makanan yang harus
dihindari.
Rencana tindakan :
1. Dorong
klien untuk berbaring dalam posisi terlentang dengan bantalan penghangat diatas
abdomen.
2. Singkirkan
pemandangan yang tidak menyenangkan dan bau yang tidak sedap dari lingkungan
klien.
3. Dorong
masukan jumlah kecil dan sering dari cairan jernih (misal : teh encer, air
jahe, agar-agar, air) 30-60 ml tiap ½ -2 jam.
4. Instruksikan
klien untuk menghindari hal ini : Cairan yang panas dan dingin, makanan yang
mengandung serat dan lemak (misal; susu, buah), Kafein
Dx V :
Tujuan : intake nutrisi meningkat,
keseimbangan cairan dan elektrolit, berat badan stabil, torgor kulit dan
membran mukosa membaik, membantu keluarga dalam memenuhi kebutuhan nutrisi
diberikan per oral, keluarga mampu menyebutkan pantangan yang tidak boleh
dimakan, yaitu makan rendah garam dan rendah lemak.
Kriteria hasil : Klien dapat
mengatakan kondisinya sudah mulai membaik dan tidak lemas lagi. Klien diberikan
rentang skala (1-10).
Rencana tindakan :
1. Mengkaji
keadaan nutrisi untuk mengetahui intake nutrisi klien.
2. Kaji
faktor penyebab perubahan nutrisi (klien tidak nafsu makan, klien kurang makan
makanan yang bergizi, keadaan klien lemah dan banyak mengeluarkan keringat).
3. Kolaborasi
dengan tim gizi tentang pemberian mekanan yang sesuai dengan program diet
(rendah garam dan rendah lemak).
4. Membantu
keluarga dalam memberikan asupan makanan peroral dan menyarankan klien untuk
menghindari makanan yang berpantangan dengan penyakitnya.
5. Membantu
memberikan vitamin dan mineral sesuai program.
6. Kolaborasi
dengan Tim dokter dalam pemberian Transfusi Infus RD 5% 1500 cc/24 jam dan
NaCl.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C.
Long, (1996), Perawatan Medikal Bedah Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan, Ikatan Alumni
Pendidikan Keperawatan Pajajaran, Bandung
Brunner &
Suddarth, (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 3, Jakarta, EGC
Carpenito.
Linda Juall, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 8, Jakarta, EGC
Doenges. M. E,
(1999), Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasi perawatan Pasien Edisi 3, Jakarta, EGC
Engelbert, J
dan Bostford, (1993), Pemeriksaan Fisik Bedah, Yogyakarta, Yayasan Esentia Medica
Hudak dan
Gallo, (1996), Keperawatan Kritis, edisi VI, Jakarta, EGC.
Nasrul Effendy,
(1998), Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, Jakarta, EGC
Rothtrock. Jane
C, (2000), Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif, Jakarta, EGC
Tarwoto, Wartonah, Eros, (2007), Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta,
CV Sagung Seto
Dx III :
Tujuan: Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi: Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Rencana tindakan :
1. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
2. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
3. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
4. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
5. Berikan antibiotik sesuai indikasi
Dx IV :
Tujuan : Klien merasa nyaman.
Kriteria hasil : Klien akan melaporkan peningkatan kekuatan/ tahanan dan menyebutkan makanan yang harus dihindari.
Rencana tindakan :
1. Dorong klien untuk berbaring dalam posisi terlentang dengan bantalan penghangat diatas abdomen.
2. Singkirkan pemandangan yang tidak menyenangkan dan bau yang tidak sedap dari lingkungan klien.
3. Dorong masukan jumlah kecil dan sering dari cairan jernih (misal : teh encer, air jahe, agar-agar, air) 30-60 ml tiap ½ -2 jam.
4. Instruksikan klien untuk menghindari hal ini : Cairan yang panas dan dingin, makanan yang mengandung serat dan lemak (misal; susu, buah), Kafein
Dx V :
Tujuan : intake nutrisi meningkat, keseimbangan cairan dan elektrolit, berat badan stabil, torgor kulit dan membran mukosa membaik, membantu keluarga dalam memenuhi kebutuhan nutrisi diberikan per oral, keluarga mampu menyebutkan pantangan yang tidak boleh dimakan, yaitu makan rendah garam dan rendah lemak.
Kriteria hasil : Klien dapat mengatakan kondisinya sudah mulai membaik dan tidak lemas lagi. Klien diberikan rentang skala (1-10).
Rencana tindakan :
1. Mengkaji keadaan nutrisi untuk mengetahui intake nutrisi klien.
2. Kaji faktor penyebab perubahan nutrisi (klien tidak nafsu makan, klien kurang makan makanan yang bergizi, keadaan klien lemah dan banyak mengeluarkan keringat).
3. Kolaborasi dengan tim gizi tentang pemberian mekanan yang sesuai dengan program diet (rendah garam dan rendah lemak).
4. Membantu keluarga dalam memberikan asupan makanan peroral dan menyarankan klien untuk menghindari makanan yang berpantangan dengan penyakitnya.
5. Membantu memberikan vitamin dan mineral sesuai program.
6. Kolaborasi dengan Tim dokter dalam pemberian Transfusi Infus RD 5% 1500 cc/24 jam dan NaCl.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long, (1996), Perawatan Medikal Bedah Suatu Pendekatan Proses Keperawatan, Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran, Bandung
Brunner & Suddarth, (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 3, Jakarta, EGC
Carpenito. Linda Juall, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 8, Jakarta, EGC
Doenges. M. E, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasi perawatan Pasien Edisi 3, Jakarta, EGC
Engelbert, J dan Bostford, (1993), Pemeriksaan Fisik Bedah, Yogyakarta, Yayasan Esentia Medica
Hudak dan Gallo, (1996), Keperawatan Kritis, edisi VI, Jakarta, EGC.
Nasrul Effendy, (1998), Keperawatan Kesehatan Masyarakat Edisi 2, Jakarta, EGC
Rothtrock. Jane C, (2000), Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif, Jakarta, EGC
Tarwoto, Wartonah, Eros, (2007), Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta, CV Sagung Seto
No comments:
Post a Comment