PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan
dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan
perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana dalam
rangka pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui perguruan tinggi, mahasiswa
belajar berbagai macam hal.
Pendidikan di Indonesia selama ini, terlalu menekankan
arti penting nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja. Mulai dari tingkat
sekolah dasar sampai kebangku kuliah, jarang sekali ditemukan pendidikan
tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang: integritas; kejujuran;
komitmen; visi; kreatifitas; ketahanan mental; kebijaksanaan; keadilan; prinsip
kepercayaan; penguasaan diri atau sinergi, padahal justru inilah hal yang
terpenting (Ary Ginanjar, 2001 : xli).
Proses
belajar di perguruan tinggi
adalah proses yang sifatnya kompleks. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk
meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence
Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial
yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan
prestasi belajar yang optimal.
Kenyataannya,
dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi sering ditemukan mahasiswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar
yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada mahasiswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi
memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada mahasiswa yang
walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar
yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan
satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor
lain yang mempengaruhi.
Menurut
Goleman (2002), kecerdasan
intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% ditentukan
oleh serumpun faktor yang disebut Kecerdasn
Emosional. Dari nama tehnis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ
mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi
perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam
dirinya, bisa mengusahakan kebahagiaan dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah
sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat (Sunar, 2010 :
50).
Dalam proses
belajar mahasiswa, kedua
inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa
partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di bangku
kuliah. Namun biasanya kedua
inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan
kunci keberhasilan belajar mahasiswa di sekolah. Ary Ginanjar (2001 : xlvi)
menegaskan bahwa kecakapan pada hakikatnya dapat dipandang sebagai sekumpulan
kebiasaan yang terkoordinasi, apa yang kita pikirkan, rasakan dan kerjakan,
agar suatu tugas terlaksana. Pendapat ini sekiranya dapat menegaskan bahwa
hakikat dari suatu kecakapan bukanlah hanya suatu pemahaman, tetapi merupakan
metode internalisasi kebiasaan dan karakter
LeDoux
mengemukakan bahwa lebih jauh lagi system emosi ternyata dapat bekerja sendiri
tanpa partisifasi kognitif: perasaan memiliki kecerdasannya sendiri. Bukti
ilmiah inilah yang dijadikan yang dijadikan sebagai pendukung argumentasi
Goleman bahwa EQ adalah syarat utama penggunaan IQ secara efektif (Sunar, 2010
: 40)
Memang harus diakui bahwa mereka yang memiliki IQ rendah dan
mengalami keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak
mampu mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka.
Namun fenomena yang ada menunjukan bahwa tidak sedikit orang dengan IQ tinggi
yang berprestasi rendah, dan ada banyak orang dengan IQ sedang yang dapat
mengungguli prestasi belajar orang dengan IQ tinggi. Hal ini menunjukan bahwa
IQ tidak selalu dapat memperkirakan prestasi belajar seseorang.
Kemunculan
istilah kecerdasan emosional dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin
dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman
memberikan definisi baru terhadap kata cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang
relatif baru dibandingkan IQ, namun EQ tidak kalah penting dari IQ. Bila
IQ kita jadikan sebagai satu-satunya kecerdasan yang membuat kita berhasil,
maka hal ini adalah kesalahan terbesar dalam hidup kita. Mengutip kata Robert Stenberg seorang ahli dalam bidang successful
Intelligences yang mengatakan: “Bila IQ yang berkuasa, ini karena kita
membiarkannya demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa, kita telah
memilih penguasa yang buruk” (Ary Ginanjar, 2001 : xl)
Penomena yang peneliti temukan berdasar hasil
pengamatan, terdapat sebagian mahasiswa D III keperawatan yang kurang motivasi
dalam hal belajar, menunda-nunda pekerjaan, acuh dalam hal tugas kelompok,
takut bertemu dengan dosen yang dianggapnya menakutkan, dan yang senang dengan
ketidak hadiran dosen. Terbesit dalam benak peneliti sebuah pertanyaan,
“mengapa hal itu bisa terjadi terhadap sebagian mahasiswa itu?”. Mungkinkah
mereka kurang mampu menggunakan kecerdasan emosinya. Ataukah ada hal lain yang
mempengaruhinya seperti itu.
Maka dalam
kaitan pentingnya kecerdasan emosional pada diri mahasiswa sebagai salah satu
faktor penting untuk menunjang keberhasilannya, baik itu dalam
kesehariaanya yang dipenuhi rasa optimis untuk belajar, maupun dalam meraih prestasi akademik dan praktek klinik, maka dalam penyusunan KTI ini penulis
tertarik untuk meneliti :”Gambaran Kecerdasan Emosional Mahasiswa D III Keperawatan Universitas Muhammadiyah
Kota Sukabumi ”.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas peneliti merumuskan masalah sebagai
berikut :
Bagaimana Gambaran Kecerdasan Emosional Mahasiswa D III
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Kota Sukabumi
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui
Gambaran Kecerdasan Emosional Mahasiswa D III Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Kota Sukabumi
2. Tujuan Khusus
a.
Mengdentifikasi kemampuan mahasiswa mengenali emosi
diri sendiri
b.
Mengdentifikasi kemampuan mahasiswa mengelola
emosi diri sendiri
c.
Mengdentifikasi kemampuan mahasiswa motivasi
diri sendiri
d.
Mengdentifikasi kemampuan mahasiswa mengenali
emosi orang lain (empati)
e.
Mengdentifikasi kemampuan mahasiswa untuk membina
hubungan (kerjasama) dengan orang lain
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini mempunyai beberapa manfaat,
antara lain ialah :
1. Untuk
instansi pendidikan
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi tentang
pentingnya kecerdasan emosional bagi seluruh elemen terkait dalam instansi
pendidikan.
2. Responden
Diharapkan
dengan adanya penelitian kecerdasan emosi ini, mahasiswa mampu menggunakan
kecerdasan emosinya dengan sebaik mungkin agar didapatkan nilai akhir yang
memuaskan.
Sebagai bahan acuan untuk peneliti
selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kecerdasan
1.
Pengertian
Kecerdasan
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur`an, yang artinya :
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman,
“sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang
benar” (QS Al-Baqarah, ayat 31)”
Sebenarnya
kecerdasan sudah ada sejak awal manusia diciptakan, seperti ayat di atas
mengemukakan bahwasannya Allah SWT menciptakan manusia dengan segala gudang
ilmu didalam dirinya. Sunar (2010 : 19) menyatakan bahwa manusia adalah makhluk
yang paling cerdas, dan Tuhan, melengkapi manusia dengan komponen kecerdasan
yang paling kompleks. sejumlah temuan para ahli mengarah pada fakta bahwa
manusia adalah makhluk yang diciptakan paling unggul dan akan menjadi unggul
asalkan bisa menggunakan keunggulannya. Kemampuan menggunakan keunggulan ini
dikatakan oleh William W Hewitt,
pengarang buku The Mind Power,
sebagai faktor yang membedakan antara orang jenius dan orang yang tidak jenius
di bidangnya.
Lantas,
apa sesungguhnya kecerdasan itu, sebenarnya hingga saat ini para ahli pun
tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komfrehensif
tentang kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chalpin (1975) memberikan pengertian
kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi
baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975)
mengemukakan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian,
yaitu: (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang di
peroleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi baru atau
lingkungan pada umumnya (Sunar, 2010 : 20).
Agus
Efendi (2005 : 81) dalam bukunya Revolusi Kecerdasan Abad 21, mengemukakan
bahwa menurut Howard Gardner, “Kecerdasan adalah kemampuan utnuk
memecahkan atau sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu”. Sedangkan menurut Alfred
Binet dan Theodore Simon, kecerdasan terdiri dari: (1) kemampuan
mengarahkan pikiran atau tindakan, (2) kemampuan mengubah arah tindakan jika
tindakan tersebut telah dilakukan, (3) kemampuan mengkritik diri sendiri
Definisi
kecerdasan lain adalah definisi kecerdasan dari Piaget, menurut William
H. calvin, dalam How Brain Think (bagaimana otak berfikir), Piaget
mengatakan, “Intelligence is what you use when you don`t know what to
do”. (Kecerdasan adalah apa yang kita gunakan pada saat kita tidak tahu apa
yang harus dilakukan). (Agus Efendi, 2005 : 83)
Menurut
Agus Efendi (2005 : 85) definisi kecerdasan-kecerdasan di atas hanya merupakan
contoh diantara banyaknya definisi kecerdasan. Para psikolog terbukti tidak menyepakati
definisi kecerdasan tersebut. Bahkan, menurut Stenberg, berbagai riset menunjukan bahwa budaya yang berbeda
memiliki konsepsi tentang kecerdasan yang berbeda pula. Lebih jauh, saat
menjelaskan definisi kecerdasan dari para ahli (expert definition), seperti telah dijelaskan di atas-yakni ketika
pada tahun 1921, 14 psikolog terkenal diminta oleh editor the Journal of Educational Psychologi untuk memberikan pandangan
mereka mengenai apa itu kecerdasan. Stenberg
mengungkapkan definisi mereka bahwa kecerdasan adalah: (1) kemapuan untuk
belajar dari pengalaman, (2) kemampuan untuk beradaftasi dengan lingkungan
sekitar (suurounding environment).
Dua jenis kemampuan ini merupakan dua tema yang penting menurutnya, kemampuan
utnuk belajar dari pengalaman itu mengimplikasikan, misalnya, bahwa orang
cerdas adalah mereka yang bukan saja melakukan kesalahan tapi juga mereka yang
belajar dari kesalahan dan tidak melakukannya lagi.
Kesimpulannya,
bahwa kecerdasan itu merupakan suatu kemampuan untuk belajar dari keseluruhan
pengetahuan dan kemampuan untuk beradaptsi dengan cepat dan efektif dengan
situasi dan lingkungan yang baru
2.
Macam – Macam Kecerdasan
Menurut Agus
Efendi (2005 : 5) bahwa manusia adalah makhluk yang dianugrahi potensi
kecerdasan tidak terbatas, berkat otaknya yang banya seberat satu setengah
kilogram, sehingga disebut the 3-pound
universe, meskipun kecerdasan manusia tidak terbatas, namun banyak ahli
atau penulis buku menyebut berbagai jenis kecerdasan. Inilah sederetan
kecerdasan tersebut:
a.
Intelligence Quotient (Kecerdasan Intelektual)
b.
Multiple Intelligence (Kecerdasan Majemuk). Menurut Howard
Gardner, kecerdasan ini mencakup, Linguistik Intelligence (Kecerdasan
Berbahasa), Logico-Mathematical
Intelligence (Kecerdasan Logis-Matematis), Visual-Svatial Intelligence (Kecerdasan Visual-Spasial), Bodily-Kinesthetic Intelligence
(Kecerdasan Kinestetik), Musical
Intelligence (Kecerdasan Musik), Interpersonal
Intelligence (Kecerdasan Antarpibadi), Intrapersonal
Intelligence (Kecerdasan Intrapersonal), dan Natural Intelligence (Kecerdasan Natural)
c.
Practical Intelligence (Kecerdasan Praktis)
d.
Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosi)
e.
Entrepreneurial Intelligence (Kecerdasan Berwiraswasta)
f.
Financial Intelligence (Kecerdasan Finansial)
g.
Adversity Qoutient (Kecerdasan Adversitas)
h.
Aspiration Intelligence (Kecerdasan Aspirasi)
i.
Power Intelligence (Kecerdasan Kekuatan)
j.
Imagination Intelligence (Kecerdasan Imajinasi)
k.
Intuition Intelligence (Kecerdasan intuitif)
l.
Moral Intelligence (Kecerdasan Moral)
m.
Spiritual Intelligence (Kecerdasan Spiritual)
n.
Succesful Intelligence (Kecerdasan Kesuksesan)
o.
DLL
Manusia adalah
sekaligus makhluk jasadiah dan ruhaniah. Sebagai makhluk jasadiah, manusia akan
mati. Tidak demikian sebagai makhluk ruhaniah, seperti ditegaskan oleh Wan Mohd
Nor Wan Daud, dalam filsafat dan praktek pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas (2003 : 94),
walaupun diciptakan, ruh manusia itu tidak mati dan selalu sadar aka dirinya.
Ia adalah tempat bagi segala sesuatu yang intelijibel dan dilengkapi dengan
fakultas yang memiliki sebutan berlainan dalam keadaan yang berbeda, yaitu ruh
(ruh), jiwa (nafs), hati (qolb), dan
intelek (aql). Setiap sebutan ini memiliki
2 makna, yang satu merujuk pada aspek-aspek jasad ataupun kebinatangan yang
satu lagi pada aspek keruhaian. (Agus Efendi, 2005 : 2)
Dalam
pembahasan macam-macam kecerdasan ini, peneliti akan membahas 3 macam
kecerdasan, yaitu: (1) Kecerdasan Intelektual “IQ”, Kecerdasan Emosional “EQ”,
dan (3) Kecerdasan Spiritual “SQ”. Mengapa peneliti hanya membahas ke tiga
aspek ini saja. Karena seperti yang telah dijelaskan Agus Efendi dalam (Wan Mohd
Nor Wan Daud, dalam Syed M. Naquib
Al-Attas (2003 : 94)), bahwa manusia teridiri dari aspek ruh, hati; dalam
pembahasan ini ruh dan hati masuk kedalam kategori kecerdan spiritual, aspek
jiwa; dalam pembahasan ini masuk ke dalam kategori kecerdasan emosional, dan
aspek intlektual; masuk pada pembahasan kecerdasa intelektual. Ketiga aspek
kecerdasan ini saling berkaitan antara kecerdasan satu dengan kecerdasan yang
lainnya.
Selanjutnya
peneliti akan membahas ke tiga aspek kecerdasan tersebut dan akan lebih
menegaskan pada aspek kecerdasa emosional. Sebagai berikut:
a. IQ (Intelectual Quotient)
memasuki abad ke-20 kita mengenal sebuah istilah popular yang
berkaitan dengan kecerdasan IQ (Intelligence
Quotient). sekarang ini hampir sulit menemukan ada istilah lain selain IQ
yang demikian sangat mempengaruhi seseorang dalam memandang diri mereka sendiri
dan orang lain. Adalah psikolog kebangsaan Prancis, Alfred Binet, yang pada
tahun 1905menyusun suatu test kecerdasan terstandarisasi untuk pertama kalinya.
Kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kemampuan untuk memecahkan
masalah secara logis dan akademis. Kecerdasan intelektual (IQ) bekait dengan
keterampilan seseorang menghadapi persoalan teknikal dan intelektual.
b. EQ (Emotional Quotient)
Penjelasan
tentang EQ, akan dijelaskan pada bagian ketiga dari BAB ini.
c. SQ (Spiritual
Quotient)
“Desakan
baru yang mendunia untuk mengembangkan kekuatan kecerdasan spiritual telah
datang pada waktu yang tepat karena dunia saat ini sering tidak salah jika
disebut menderita sakit rohaniah.” Begitu kata Tony Buzan dalam The
Power of Spiritual Intelligence (2003: xx1). ketika menjawab pertanyaa apa
sesungguhnya makana kata spirit dan spiritual. Tony Buzan menjawabnya bahwa
konsep keseluruhan tentang spirit berasal dari bahasa latin spiritus, yang
berarti napas. Dalam duna modern, kata itu merujuk ke energi hidup dan
kesesuatu dalam diri kita yang bukan fisik, termasuk emosi dan karakter. ini
juga mencakup kualitas-kualitas vital seperti energy, semangat, keberanian, dan
tekad. kecerdasan spiritual tegas Buzan, terkait dengan cara menumbuhkan dan
mengembangkan kualitas-kualitas tersebut. (Agus Efendi, 2005: 206)
SQ
adalah fasilitas yang berkembang selama jutaan tahun yang memungkinkan otak
untuk menemukan dan menggunakan makna dalam dalam memecahkan persoalan.
utamanya persoalan yang menyangkut masalah eksistensial, yaitu saat seseorang
pribadi terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran dan masalah masa lalu
akibat penyakit dan kesedihan (Sunar, 2010 : 249)
Agus
Efendi mengutip definisi SQ menurut Zohar dan Marshall (2000: 11) “SQ adalah
kecerdasan yang tidak bergantung pada budaya dan nilai; kecerdasan yang
mendahului seluruh nilai spesifik dan budaya manapun; kecerdasan yang membuat
agama menjadi mungkin tapi tidak bergantung pada agama; kecerdasan yang bisa
menjawab pertanyaan mengenai makna.”
B. Emosi
1.Pengertan Emosi
Dalam bukunya Revolusi
Kecerdasan Abad 21, Agus Efendi (2005 : 171) Emosi adalah salah satu dari
yang oleh para Psikolog disebut dengan trilogi mental yang terdiri dari
kognisi, emosi dan motivasi. Akar kata emosi adalah movere , kata kerja Bahasa Latin yang berarti “menggerakan,
bergerak”, ditambah awalan “e-” untuk member arti “bergerak menjauh”, ini
menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal yang mutlak dalam emosi
(1998 : 7).
Dalam buku terkenalnya Emotional Intelligence (1998 : 441), Goleman mengatakan bahwa dalam
makna yang paling harfiah, Oxford English
Dictionary mendefinisikan kata emosi dengan “Setiap kegiatan atau pegolakan
pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”
Sedangkan menurut Robert
K. Cooper dan Ayman Sawaf, dalam
bukunya Excutive EQ (1996 :
xii-xiii). Kata emotion bisa
didefinisikan dengan gerakan (movement),
baik secara metaforsis maupun literal, kata emotion
adalah kata yang menunjukan gerak perasaan. Dengan begitu menurut mereka,
kecerdasan emosionallah yang lebih memotivasi kita untuk mencari potensi kita
sendiri; untuk mencapai tujuan unik kita; yang mengaktifkan nilai-nilai dan
aspirai-aspirasi kita yang paling dalam dari apa yang kita pikirkan (what whe think abaout). Menurut mereka,
sudah sekian lama emosi dipandang sebagai kedalaman (depth) dan kekuatan (power).
oleh karena itu pula, dalam Bahasa Latin, kedalaman dan kekuatan itu disebut
dengan motus anima yang artinya “the spirit that move us”, jiwa yang
menggerakan kita.
Daniel Goleman sendiri mempunyai daftar emosi yang
relative lengkap, yang oleh Kartajaya dikatakan representatif. Daftar emosi
tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Amarah : beringas, mengamuk, benci, marah besar,
jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan,
kekerasan, kebencian patologis.
b.
Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis,
mengsihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, defresi berat.
c.
Rasa takut : cemas, takut, gugup, khawatir, waswas,
perasaan takut sekali, khawatir, waspada, sedih, tidak tenang, nyeri, takut sekali,
sampai dengan paling parah fobia dan panik.
d.
Kenikmatan : gembira, bahagia, ringan puas, riang,
senagn, terhibur, bangga, kenikmatan indarwi, takjub, rasa terpesona, rasa
puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang, senang sekali, hingga yang
eksterm mania.
e.
Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan
hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, kasih.
f.
Terkejut : shok, terkesiap, takjub, terpana.
g.
Jengkel : hina, jijik, muak, benci, tidak suka, mau
muntah, tidak enak perasaan.
h.
Malu : rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina,
aib, hati hancur lebur, perasaan sedih atau dosa yang mendalam.
Seperti yang
telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah
dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu
untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam
the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan,
karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan
emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan
memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan
hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal
itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai
emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara
mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut
Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam
menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam
permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap
individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan
tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan
uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek)
yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus,
baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya
C.
Kecerdasan
Emosional
1.
Pengertian Kecerdasan Emosional
Orang yang pertama kali menggunakan istilah kecerdasan
emosional adalah Peter Salovey dan John Mayer. Kemudian Danil Golemanlah yang mengkajinya secara
mendalam dari banyak hasil riset mengenainya (Agus Efendi, 2005 : 164)
Danil Goleman, dalam karyanya Working With Emotional Intelligence (1995 : 512-514).
Mendefinisikan kecerdasan emosional dengan “… Kemampuan mengenali diri kita
sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya
dengan orang lain”. Sedangkan Cooper dan Sawaf, dalam bukunya Excutive
EQ (1977), juga mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “Kemampuan
merasakan, memahami, dan secara efektif mengaplikasikan kekuatan serta
kecerdasan emosi sebagai sebuah sumber energi manusia, informasi, hubungan dan
pengaruh” (Agus Efendi, 2005 : 171-172)
Salovey dan Mayer (1997), dalam (Sunar,
2010 : 138) mendefinisikan
kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai “Kemampuan
untuk memproses informasi emosional, lebih khusus lagi kemampuan untuk
mengenali makna emosi dan hubungan mereka, serta mampu untuk alasan dan
memecahkan masalah atas dasar mereka”.
Sedagkan Hein,
dalam (Sunar, 2010 : 138) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “bisa
tahu bagaimana memisahkan perasaan sehat dari yang tidak sehat dan bagaimana
mengubah perasaan negative menjadi positif”.
Kecerdasan
emosi merupakan kemampuan seseorang mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam,
mengubahnya dari sesuatu yang difikirkan menjadi sesuatu yang menyentuh rasa.
Emosi ini biasanya ada di hati. Hati adalah sumber energi, keberanian dan
semangat, integritas dan komitmen. Hati itu juga sumber energi dan perasaan
mendalam yang menuntut kita belajar, menciptakan kerjasama, memimpin, dan
melayani. Hati nurani akan menjadi pembimbing terhadap sesuatu yang harus
ditempuh dan sesuatu yang diperbuat. Artinya manusia sebenarnya telah memiliki
sebuah radar hati sebagai pembimbingnya (Ary Ginanjar, 2001 : xliii)
Gardner
dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-53)
mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting
untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang
lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial,
kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan
oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut
Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu
kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana
mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan
kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke
dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri
sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan
modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman,
2002 : 52).
Dalam
rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu
mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati,
temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi
yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju
perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan
perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”.
(Goleman, 2002 : 53).
Berdasarkan
kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200 : 57) memilih
kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai
dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya
kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati)
dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Menurut
Goleman (2002 : 512), kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan
inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga
keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and
its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri,
motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan mahasiswa
untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan
(kerjasama) dengan orang lain.
2. Komponen Kecerdasan Emosional
Goleman
mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi
Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya
dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali
emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional,
para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni
kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64)
kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang
suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam
aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin
penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk
mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola
emosi merupakan kemampuan individu dalam
menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras,
sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang
merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi
berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak
kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk
menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan
dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari
perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi
harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti
memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan
dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu
antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri (Goleman, 2002: 100)
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan
untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002
:57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan
kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu
menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa
yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang
lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan
orang lain.
Rosenthal
dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih
mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul,
dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa
anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan
terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu
membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin
mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya
sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang
lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan
dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas,
kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan
dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina
hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit
juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang
yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang
apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar
pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman
yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah
tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk
positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana
kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang
dilakukannya.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-komponen utama dan
prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk
mengembangkan instrumen kecerdasan emosional
3.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
a. Faktor Internal.
Faktor internal adalah apa yang ada dalam diri
individu yang mempengaruhi kecerdasan emosinya. Faktor internal ini memiliki
dua sumber yaitu segi jasmani dan segi psikologis. Segi jasmani adalah faktor
fisik dan kesehatan individu, apabila fisik dan kesehatan seseorang dapat
terganggu dapat dimungkinkan mempengaruhi proses kecerdasan emosinya. Segi
psikologis mencakup didalamnya pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir dan
motivasi.
b. Faktor Eksternal.
Faktor ekstemal adalah stimulus dan lingkungan dimana kecerdasan
emosi berlangsung. Faktor ekstemal meliputi: 1) Stimulus itu sendiri, kejenuhan
stimulus merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang
dalam memperlakukan kecerdasan emosi tanpa distorsi dan 2) Lingkungan atau
situasi khususnya yang melatarbelakangi proses kecerdasan emosi. Objek lingkungan yang melatarbelakangi
merupakan kebulatan yang sangat sulit dipisahkan (Yuli`s Blog, 2009)
4. Karakteristik Kecerdasan Emosional
Tinggi dan Rendah
Steven Hein (dalam www.EQI.org, 2002) membedakan individu dengan
kecerdasan emosional tinggi dan rendah. Ia juga mengkarakteristikkan orang yang
memiliki Emotional Intelligence tinggi dan rendah atas cirri yang khas,
yaitu :
a. Ciri-ciri individu dengan tingkat Emotional Intelligence yang
tinggi :
1) Mampu untuk melabelkan perasaannya daripada melabelkan perasaan
orang lain ataupun situasi.
2) Mampu membedakan mana yang pikiran dan mana yang merupakan rasa.
3) Bertanggung jawab terhadap rasa.
4) Menggunakan rasa mereka untuk membantu dalam membuat suatu
keputusan.
5) Respek terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain.
6) Bersemangat dan tidak mudah marah.
7) Mengakui rasa orang lain.
8) Berupaya untuk memperoleh nilai-nilai positif dari emosi yang negative.
9) Tidak
bertindak otoriter, menggurui ataupun memerintah
b. Ciri-ciri individu dengan tingkat Emotional Intelligence yang
rendah :
1)
Tidak
berani bertanggung jawab terhadap rasa yang dimiliki, tetapi lebih menyalahkan
orang lain terhadap hal yang terjadi pada dirinya.
2)
Berlebihan
ataupun menekan rasa yang dimilikinya.
3)
Cenderung
menyerang, menyalahkan, menilai orang lain.
4)
Merasa
tidak nyaman apabila berada disekitar orang lain.
5)
Kurang memiliki rasa empati.
6)
Cenderung
kaku, kurang fleksibel, cenderung membutuhkan suatu aturan yang sistematis agar
merasa nyaman.
7)
Menghindari
tanggung jawabnya dengan menyatakan tidak ada pilihan lain.
8)
Pesimistis
dan cenderung menganggap dirinya ini adil.
9)
Sering
merasa kurang dihargai, kecewa, hambar atau merasa jadi korban.
5. Hubungan Otak Emosional
dengan Prestasi
Menurut
Agus Efendi (2005: 183), kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang sangat
diperlukan untuk berprestasi. Meskipun, seperti dikatakan Goleman, kita tidak
boleh melupakan peran motivasi positif dalam mencapai prestasi. Motivasi
positif itu berupa kumpulan perasaan antusiasme, gairah dan keyakinan diri.
Kesimpulan in ditunjukan oleh hasil berbagai studi terhadap para atlet
Olimpiade, musikus kelas dunia, dan para grand master catur yang
menunjukan adanya cirri yang serupa pada mereka. Cirri serupa itu berupa
kemampuan memotivasi diri untuk tak henti-hentinya berlatih secara rutin.
Keuntungan
tambahan atas sukses dalam kehidupan yang didorong oleh motivasi, selain karena
kemampuan bawaan lainnya, dapat dilihat pada unjuk kerja yang menakjubkan oleh
mahasiswa-mahasiswa Asia yang belajar disekolah-sekolah Amerika serta
diberbagai bidang pekerjaan. “… kita termotivasi oleh perasaan antusiasme dan
kepuasan pada apa yang kita kerjakan. Atau, bahkan kadar optimal kecemasan
emosi-emosi itulah yang mendorong kita untuk berprestasi. Dalam arti inilah
kecerdasa emosional merupakan kecakapan utama, kemampuan yang secara mendalam
mempengaruhi semua kemampuan lainnya, baik memperlancar maupun menghambat
kemampuan-kemampuan itu,” tulis Goleman (1998: 112).
D. Pengertian
Mahasiswa
Menurut
Susantoro
(Rahmawati, 2006) mahasiswa merupakan kalangan muda yang berumur antara 19
sampai 28 tahun yang memang dalam usia tersebut mengalami suatu peralihan dari
tahap remaja ke tahap dewasa. Sosok mahasiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan
dan sikap kenyataan objektif, sistematik dan rasional. Kenniston (Rahmawati, 2006) mengatakan bahwa mahasiswa (youth) adalah suatu periode yang disebut
dengan “studenthood” yang terjadi hanya pada individu yang memasuki post secondary education dan sebelum
masuk ke dalam dunia kerja yang menetap. Berbeda dengan pendapat yang telah
dikemukakan oleh dua ahli tersebut di atas, Visi Pelayanan Mahasiswa
menyebutkan bahwa mahasiswa adalah seseorang yang sedang mempersiapkan diri
dalam keahlian tertentu dalam tingkat pendidikan tinggi.
Mahasiswa
mempunyai peran penting sebagai agen perubahan (agent of change) bagi tatanan
kehidupan yang secara realistis dan logis diterima oleh masyarakat (Chaerul,
2002). Sejalan dengan pendapat Chaerul, Kartono (Rahmawati, 2006)
menyebutkan bahwa mahasiswa merupakan anggota masyarakat yang mempunyai
ciri-ciri tertentu antara lain:
1) Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk
belajar di perguruan tinggi sehingga dapat digolongkan sebagai kaum
intelegensia.
2) Mahasiswa
diharapkan nantinya dapat bertindak sebagai pemimpin masyarakat ataupun dalam
dunia kerja.
3) Mahasiswa
diharapkan dapat menjadi daya penggerak yang dinamis bagi proses modernisasi.
4)
Mahasiswa diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkualitas
dan profesional.
Ditinjau
dari kepribadian individu mahasiswa merupakan suatu kelompok individu yang
mengalami proses menjadi orang dewasa yang dipersiapkan atau mempersiapkan diri
dalam sebuah perguruan tinggi dengan keahlian tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Jakarta:
Penerbit Arga
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka
Cipta
Dhafir, M.Pd, H. Drs. Syarqawi. 2007. Pedoman Penulisan Paper Niha`ie. Sumenep, Madura: Al-Amien Printing
Efendi, Agus. 2005. Revolusi
Kecerdasan Abad 21. Bandung: Alfabeta (Anggota IKAPI)
Goleman, D. 2002. Emotional Intelligence. Jakarta:
Gramedia
Hidayat, A.
Aziz Alimul. 2007. Riset Keperawatan dan
Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika
Kecerdasan Emosional. http://nadhirin.blogspot.com.
Diakses Tanggal 30 Juni 2009
Kecerdasan Emosi Menurut Daniel Goleman. Yuli`s Blog.com. Diakses
tanggal 19 Oktober 2009
Notoatmodjo, Soekidjo, Prof. Dr.
2010. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta
Pengertian
Mahasiswa. Sutisna.Com.htm. Diakses Tanggal 09 November 2010
Psikologi Malang. http://psychologyclub.web.id. Diakses
Tanggal 05 Desember 2009
Sunar P, Dwi. 2010. Edisi Lengkap Tes IQ, EQ dan SQ. Jogjakarta: FlashBooks
Mas,, mau tanya..
ReplyDeleteMasih punya buku EDISI LENGKAP TES IQ, EQ, DAN SQ..
pengarangnya Dwi Sunar P
untuk buku itu silahkan cari d bandung daerah palasari, soalnya waktu membuat postingan ini sy masih kuliah S1 d bandung
Delete