BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep
Dasar Perilaku Kekerasan
1. Definisi
a.
Perilaku
kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan. (Stuart dan
Sunden,
1995) dalam Kumpulan materi keperawatan jiwa
RSJ Provinsi Jawa Barat 2010.
b.
Perilaku
kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. (Berkowtz,
1993) dalam Kumpulan materi keperawatan jiwa
RSJ Provinsi Jawa Barat 2010.
c. Kekerasan Terhadap anak
Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (Child Abuse) dapat didefinisikan sebagai
peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh
orang-orang yang tidak mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak
yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman tehadap kesehatan
dan kesejahteraan anak. Contoh paling jelas dari tindak kekerasan yang dialami
anak-anak adalah
pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali-kali sampai terjadi luka
goresan (srapes/scrathes). Namun demikian, perlu didasari bahwa Child Abuse sebenarnya tidak hanya
berupa pemukulan atau penyerangan secara fisik, melainkan juga bisa berupa
berbagai bentuk eksploitasi melalui misalnya pornografi atau penyerangan seksual (seksual
as-sault), pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang
gizi (malnutrion), pengabaian pendidikan dan kesehatan (education and medical
neglet) dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (medical abuse ). Gelles, 1985 dalam Suyanto (Masalah sosialisasi anak
2010:28).
2.
Jenis dan Kekerasan
yang di lakukan orang tua
terhadap anak
Dari klasifikasi yang dilakukan para ahli, tindakan
kekerasan atau pelanggaran terhadap anak tersebut dapat terwujud setidaknya
dalam dua bentuk. Suyanto, dalam Masalah sosialisasi anak (
2010:29)
a.
Kekerasan
fisik.
Bentuk ini paling mudah dikenali. Terkategorisasi sebagai
kekerasan jenis ini adalah : menampar, menendang, memukul/meninju, mencekik,
mendorong, menggigit, membenturkan, mengancam dengan benda tajam dan
sebagainya. Korban kekerasan jenis ini
biasanya tampak secara langsung pada fisik korban seperti
: luka memar, berdarah, patah
tulang, pingsan, dan bentuk lain yang kondisinya lebih berat.
b.
Kekerasan
psikis.
Kekerasan jenis ini tidak begitu mudah dikenali. Akibat
yang dirasakan oleh korban tidak memberikan bekas yang nampak jelas bagi orang
lain. Dampak kekerasan jenis ini akan berpengaruh pada situasi perasaan tidak
aman dan nyaman, menurunnya harga diri serta martabat korban. Wujud konkret
kekerasan atau pelanggaran jenis ini adalah : penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di depan
orang lain atau di depan umum, melontarkan ancaman dengan kata-kata, dan
sebagainya. Akibat adanya perilaku tersebut biasanya korban akan merasa rendah
diri, minder, merasa tidak berharga, dan lemah dalam membuat keputusan
(decision making).
3.
Faktor Terjadinya
Perilaku
Kekerasan
Terhadap
Anak
Menurut Lestari
Basoeki, 1999 dalam Suyanto (2010:32), beberapa faktor penyebab yang
terjadi penganiayaan anak dan penelantaran anak
:
a. Orang tua yang dahulu dibesarkan
dengan kekerasan cenderung meneruskan
pendidikan tersebut kepada anak-anaknya.
b. Kehidupan
yang seperti terlalu padat kemiskinan, sering berkaitan dengan tingkah laku
agresif, dan menyebabkan terjadinya penganiayaan fisik terhadap anak.
c. Isolasi sosial, tidak adanya dukungan yang cukup dari
lingkungan sekitar, tekanan sosial akibat situasi krisis ekonomi, tidak bekerja
dan masalah perumahan akan meningkatkan kerentanan keluarga yang akhirnya akan
terjadinya penganiayaan dan penelantaran anak.
Menurut seorang pemerhati masalah anak Fatimah,
(1992)
dalam Suyanto (2010:33)
mengungkapknan terdapat 5 kondisi yang menjadi faktor pendorong atau penyebab
terjadinya kekerasan atau pelanggaran dalam keluarga yang dilakukan terhadap
anak :
a.
Faktor
ekonomi.
Kemiskinan yang dihadapi sebuah keluarga sering kali
membawa keluarga tersebut pada situasi kekecewaan yang pada gilirannya
menimbulkan kekerasan. Hal ini biasanya terjadi pada keluarga dengan anggota
yang sangat besar. Problematika finansial keluarga yang memprihatinkan atau kondisi keterbatasan ekonomi dapat menciptakan berbagai macam
masalah baik dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan,
pembelian pakaian, pembayaran sewa rumah yang kesemuanya relatif dapat
mempengaruhi jiwa dan tekanan yang sering kali akhirnya dilampiaskan terhadap
anak-anak.
b.
Masalah
keluarga.
Hal ini lebih mengacu pada situasi keluarga khususnya
hubungan orang tua yang kurang harmonis. Seorang ayah akan sanggup melakukan
kekerasan terhadap anak-anaknya semata-mata sebagai pelampiasan atau upaya
untuk pelepasan rasa jengkel dan amarahnya terhadap istri. Sikap orang tua yang
tidak melukai anak-anak, pemarah dan tidak mampu mengendalikan
emosi juga dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak-anak. Bagi para
orang tua yang memiliki anak yang bermasalah seperti
: cacat fisik atau mental
(idiot) acap kali kurang dapat mengendalikan kesabarannya sewaktu menjaga atau
mengasuh anak-anak mereka, sehingga mereka juga merasa terbebani atas kehadiran
anak-anak tersebut dan tidak jarang orang tua menjadi kecewa dan merasa
frustasi.
c.
Faktor
perceraian.
Perceraian dapat menimbulkan problematika kerumah tanggaan
seperti persoalan hak pemeliharaan anak, pemberian kasih sayang, pemberian
nafkah dan lain sebagainya. Akibat perceraian juga akan dirasakan oleh
anak-anak terutama ketika orang tua mereka menikah lagi dan anak harus dirawat
oleh ibu atau ayah tirinya. Dalam banyak kasus tindakan kekerasan tidak jarang
dilakukan oleh pihak ayah atau ibu tiri tersebut.
d. Menyangkut
permasalahan jiwa atau psikikologis.
Dalam berbagai kajian psikologis disebutkan bahwa orang
tua yang melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan terhadap anak-anak
adalah mereka yang memiliki problem psikologis. Mereka senantiasa berada dalam
situasi kecemasan (anxiety) dan tertekan akibat mengalami depresi atau setres.
Secara tipologis ciri-ciri psikologis yang menandai situasi tersebut anatara
lain
: adanya perasaan rendah diri,
harapan terhadap anak yang tidak realistis, harapan yang bertolak belakang
dengan kondisinya dan kurangnya pengetahuan tentang bagaimana cara mengasuh
anak yang baik.
e. Faktor
terjadinya kekerasan atau pelanggaran terhadap hak-hak anak adalah tidak
dimilikinya pendidikan atau pengetahuan religi yang memadai.
Dalam sebuah model yang disebut “The Abusive Environment
Model”, Ismail, 1995 dalam Suyanto (2010:35) menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan
terhadap anak-anak sesungguhnya dapat ditinjau
:
a. Aspek
kondisi sang anak sendiri
Kekerasan dan pelanggaran terhadap hak anak dapat terjadi
karena faktor pada anak, seperti : anak yang mengalami premature, anak yang mengalami
sakit sehingga mendatangkan masalah, hubungan yang tidak harmonis sehingga
mempengaruhi watak, adanya proses kehamilan atau kelahiran yang sulit,
kehadiran anak yang tidak dikehendaki, anak yang mengalami cacat baik mental
maupun fisik, anak yang sulit diatur sikapnya, dan anak yang meminta perhatian
khusus.
b. Faktor pada orang tua .
Meliputi pernah tidak orang tua mengalami kekerasan atau
penganiayaan sewaktu kecil, menganggur atau karena pendapatan tidak mencukupi,
pecandu narkotika atau peminum alkohol, pengasingan sosial atau dikucilkan,
sewaktu senggang yang terbatas, karakter pribadi yang belum matang, mengalami
gangguan emosi atau kekacauan saraf yang lain, mengidap penyakit jiwa, sering
kali menderita gangguan kepribadian, berusia terlalu muda sehingga belum
matang, terutama sekali mereka yang mendapatkan anak sebelum berusia 20 tahun.
Kebanyakan
orang tua dari kelompok ini kurang memahami kebutuhan anak dan mengira bahwa
anak dapat memenuhi perasaannya sendiri dan latar belakang pendidikan orang tua
yang rendah.
c. Karena faktor lingkungan seperti
: kondisi kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis,
kondisi sosial ekonomi yang rendah, adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak
merupakan milik orang tua sendiri, status wanita yang rendah, sistem keluarga
patriakat, nilai masyarakat yang terlalu individualistis dan sebagainya.
Dalam pengkajian lain yaitu Vincent J. Fontana,
1973 dalam Suyanto (2010:37) mengemukakan bahwa orang yang biasanya melakukan tindak
kekerasan atau penganiayaan terhadap anaknya adalah orang tua yang memiliki
ciri berikut:
a. Secara
emosional belum matang.
Orang tua yang termasuk pada ciri ini umumnya bersifat
kekanak-kanakan dan menikah belum mencapai usia sesuai tanggung jawab yang
harus diemban sebagai orang tua. Sering kali orang tua merasa tidak senang
dengan kehadiran anak dan memaksa anak untuk memikul beban peranan orang tua
dimana sesungguhnya anak belum waktunya untuk melakukannya. Untuk rasa keamanan
mereka menekankan adanya aturan-aturan dirumah yang sangat ketat. Siapa saja
yang tidak mematuhi aturan yang telah ditetapkan akan mendapatkan ancaman dan
hukuman. Dengan emosi yang masih labil orang tua tipe ini lebih cenderung untuk
meminta dari pada memberi. Ada juga yang merasa terasing dengan lingkungannya sebab tidak mampu menjalin hubungan yang
harmonis baik dengan keluarga maupun anaknya.
b. Menderita gangguan emosional.
Kebanyakan dari orang tua ini tidak memiliki cara
pengasuhan dan latar belakang yang baik, sehingga tidak memiliki bekal sebagai
orang tua yang bertanggung jawab. Hal ini menyebabkan mereka tidak dapat
berperan sebagaimana orang tua pada umumnya. Apabila mengalami frustasi orang
tua dengan tipe ini tidak mampu melakukan kontrol terhadap emosinya sehingga
tidak segan-segan untuk melukai siapapun yang ada didekatnya termasuk juga
anak-anaknya. Kondisi semacam ini menyebabkan orang tua senantiasa menyalahkan
anak-anaknya padahal anaknya tidak melakukan apapun seperti yang dituduhnya.
c. Secara
mental tidak sempurna.
Pada golongan ini orang tua sulit untuk melakukan
adaptasi dan menerima anak-anaknya. Dengan masalah mental yang dihadapi mereka
tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana seharusnya berfikir.
Akibatnya mereka sulit untuk memahami dirinya apalagi orang lain termasuk
anak-anaknya sendiri. Sehingga jika perilaku anak-anak menyimpang dari tingkah
laku standar normal yang mereka tentukan, maka mereka akan beranggapan bahwa
anak-anak tidak tunduk dan dengan sengaja melakukan pelanggaran. Pelanggaran
yang terjadi akan selalu di iringi dengan hukuman yang makin lama makin berat.
d. Orang tua yang terlalu berpegang pada disiplin.
Orang tua pada tipe ini beranggapan bahwa memukul dan
menghajar adalah sesuatu hal yang wajar untuk mendisiplinkan anak. Mereka
menganggap bahwa hukuman fisik adalah cara wajar untuk mendidik anak dan
merupakan cara yang sangat efektif. Ada beberapa alasan mengapa orang tua
melakukannya. Pertama, karena mereka merasa bahwa orang tua sangat bertanggung
jawab dalam membesarkan anak-anaknya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Kedua, mereka mencoba melakukan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Dengan
kata lain, yang benar menurut orang tua benar untuk sang anak.
e. Orang tua yang memiliki kepribadian yang sadisme dan
berperilaku kriminal. Meskipun orang tua termasuk pada golongan ini kecil
jumlahnya, tetapi perlu juga diwaspadai. Biasanya orang tua tipe ini suka
memukul, menyiksa dan kadang kala membunuh hanya untuk kepuasan pribadi.
f. Pecandu minuman alkohol.
Orang tua yang telah kecanduan minuman keras atau minuman alkohol
meski tidak bermaksud untuk melakukan tidak kekerasan pada anaknya, tetapi
karena pengaruh minuman tersebut justru sebaliknya akan terjadi. Karena tidak
sadar mereka tidak jarang melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anak. Kondisi kecanduan minuman keras
memberikan konsekuensi terhadap lingkungan kehidupan keluarga yang makin buruk
dan mempengaruhi proses pendidikan pada anak.
4.
Dampak Tindakan
Kekerasan
Terhadap
Anak
Secara
umum dapat dikatakan bahwa tindak kekerasan pada anak adalah setiap tindakan
yang mempunyai dampak fisik yang bersifat traumatis pada anak, baik yang dapat
dilihat dengan mata telanjang atau dilihat dari akibatnya bagi kesejahteraan fisik
dan mental anak. Tindak Kekerasan terhadap anak meski diakui acap kali terjadi di
masyarakat, namun demikian ketika kita berbicara tentang pembuktiannya dari
segi hukum, ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan. Dalam berbagai kasus
kita tahu bahwa trauma fisik akibat tindak kekerasan terhadap terhadap anak
terdapat hilang setelah 48 jam-kecuali tindak kekerasan yang menimbulkan bekas luka yang serius
dan parah. Berikut terdapat beberapa indikator dari WHO yang memperlihatkan
tingkat keparahan (severity) dari tindak kekerasan yang dialami anak-anak:
a.
Fatal :
anak meninggal: dicurigai bahwa tindak kekerasan fisik (physical abuse) yang
menyebabkan terjadinya kematian.
b.
Serius :
kondisi yang mengancam kehidupan atau luka yang cukup serius untuk menyebabkan
terjadinya kerusakan jangka panjang yang signifikan atau diperlukannya
penanganan Dokter untuk mencegah kerusakan jangka panjang. Contoh: hilangnya
kesadaran, kejang-kejang, patah tulang, kondisi fisik yang cukup parah sehingga
butuh penanganan Rumah Sakit.
c.
Sedang :
atau trauma fisik yang sedang: kondisi fisik dengan gejala-gejala teramati
(sakit/kerusakan) diharapkan sembuh paling sedikit 48 jam. Contoh: memar-memar,
lecet.
Pada anak-anak yang
mengalami penelantaran dapat terjadi kegagalan dalam tumbuh kembangnya,
malnutrisi, anak-anak ini kemungkinan fisiknya kecil, kelaparan, terjadi
infeksi kronis, hygiene kurang, hormon pertumbuhan turun. Apabila kegagalan
tumbuh kembang anak tarafnya sangat berat maka anak-anak akan menjadi kerdil
apabila ini terjadi secara kronis maka anak tidak bisa tumbuh kembang meskipun
kemudian diberi makan yang cukup. Anak-anak ini proporsi tubuhnya normal, akan
tetapi akan kecil untuk anak sesuainya. Kadang ada dari mereka mengalami
perbaikan hormon pertumbuhannya dan kemudian mengejar ketinggalan pertumbuhan
yang pernah dialaminya.
Dari segi tingkah laku anak-anak yang mengalami
penganiayaan sering menunjukkan seperti: penarikan diri, ketakutan, tingkah
laku agresif, emosi yang labil. Mereka juga sering menunjukkan gejala depresi,
jati diri yang rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur, phobia, kelak bisa
tumbuh menjadi penganiaya, menjadi bersifat keras, penggangguan stres pasca
trauma dan terlibat dalam penggunaan zat adiktyif.
Dari hasil penelitian dikatakan bahwa penganiayaan pada
masa anak-anak berhubungan erat dengan meningkatnya
kemungkinan untuk mendapatkan pengalaman masa kanak-kanak yang tidak baik dalam
lingkungan rumah, kemungkinan besar untuk mendapatkan gangguan kepribadian ambang dan pada
gilirannya akan mendapatkan kemungkinan yang lebih besar untuk mendapat depresi
pada masa dewasanya.
B. Konsep
Dasar Pengetahuan
1. Definisi
Pengetahuan
hasil tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap satu
objek tertentu, pengindraan ini terjadi melalui panca indra manusia yaitu
penglihatan, penciuman, indra peraba dan indra perasa yang meliputi :
a.
Tahu (Know)
b.
Memahami (Compheresion)
c.
Aplikasi (Application)
d.
Analisis (Analysis)
e.
Sintetis (Synthesis)
f.
Evaluasi (Evaluation)
(Notoatmodjo, 2005).
2. Tingkat
Pengetahuan
Pengetahuan
yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan. Semakin ke
atas tingkat pengetahuan semakin baik pengaruhnya terhadap perilaku. Tingkatan pengetahuan tersebut adalah :
a. Tahu (Know)
Diartikan sebagai
mengingat suatu materi yag telah di pelajari sebelumnya. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling
rendah, untuk mengukur orang tahu tentang apa yang di pelajari antara lain
dengan menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan. Dengan kata
lain dapat menyebutkan pengertian, cara penularan dan cara pencegahan penyakit.
b. Memahami (Compherension)
Diartikan sebagai
suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan
dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham
terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang telah di pelajari.
c. Aplikasi (Application)
Kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah di pelajari pada suatu situasi/kondisi, seperti
dapat menggunakan proses pemecahan masalah kesehatan yang dihadapi.
d. Analisis
Suatu
kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen,
tetapi masih didalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama
lain. Kemampuan analisis ini dapat
dilihat dari penggunaan kata
kerja seperti dapat menggambarkan, membedakan, mengelompokkan dan
memisahkan.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis
menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
kebagian-kebagian didalam suatu bentuk seluruhnya yang baru.
f. Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek, penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu
kriteria yang ditentukan sendiri. (Notoatmodjo,
2005).
3.
Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi
Pengetahuan
a. Pendidikan
Pendidikan
proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran, sehingga dalam
pendidikan perlu dipertimbangkan umur (proses perkembangan klien) dan hubungan
dengan proses belajar. Tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi persepsi seseorang untuk lebih mudah menerima ide dan teknologi
baru (Notoatmodjo, 2005).
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan
bertambah pengalaman yang mempengaruhi wawasan dan pengetahuan. Adapun tujuan
yang hendak dicapai melalui pendidikan alat untuk mengubah pengetahuan
(pengertian, pendapat, konsep-konsep) sikap dan persepsi serta menambah tingkah
laku atau kebiasaan yang baru (Notoatmodjo,
2005).
b. Pekerjaan
Pekerjaan adalah aktifitas yang dilakukan sehari-hari
untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
dimana semua bidang pekerjaan umumnya diperlukan adanya hubungan sosial antara
satu sama lain, setiap orang harus dapat bergaul dengan teman sejawat walaupun
dengan atasan sehingga orang yang hubungan sosial luas maka akan lebih tinnggi
pengetahuannya dibandingkan dengan orang yang kurang hubungan sosial dengan
orang lain (Notoatmodjo, 2005).
c.
Umur
Semakin cukup usia, tingkat kemampuan atau kematangan akan lebih mudah untuk
berpikir dan mudah menerima informasi. Umur mempengaruhi bagaimana mengambil
keputusan dalam pemeliharaan kesehatannya, semakin bertambah umur maka
pengalaman dan pengetahuan bertambah. Hal tersebut dihubungkan dengan pengaruh
pengalaman sendiri maupun orang lain dapat mempengaruhi perilaku saat ini atau
kemudian.
d. Sumber
Informasi
Informasi adalah suatu yang terjadi perantara dalam menyampaikan
informasi, merangsang pikiran dan kemampuan, informasi yang diperoleh dari
berbagai sumber akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Bila seseorang
memperoleh informasi, maka cenderung mempunyai pengetahuan yang lebih luas.
Informasi dapat diperoleh melalui media misalnya TV, radio, surat kabar, majalah, poster dan lain-lain (Notoatmodjo, 2003).
No comments:
Post a Comment