TINJAUAN
TEORITIS
AIDS adalah penyakit
yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang disebabkan oleh
retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana kebanyakan
pasien memerlukan perawatan medis dan keperawatan canggih selama perjalanan
penyakit. (Carolyn, M.H.1996:601)
AIDS (Acquired
immunodeficiency syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya
system kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi Human
Immunodeficiency virus (HIV). (Mansjoer, 2000:162)
Infeksi HIV adalah
infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih Infeksi
oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara
progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu
(terutama pada orang dewasa).
Kasus HIV pada anak
biasanya paling sering ditemukan akibat transmisi dari ibu yang sudah memiliki
HIV ke anaknya. Kemungkinan besar perpindahan virus ini terjadi selama proses
kehamilan dan juga persalinan.
B.
E tiologi
Penyebab penyakit AIDs
adalah HIV yaitu virus yang masuk dalam kelompok retrovirus yang biasanya
menyerang organ-organ vital sistem kekebalan tubuh manusia. Penyakit ini dapat
ditularkan melalui penularan seksual, kontaminasi patogen di dalam darah, dan
penularan masa perinatal.
1.
faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah :
1.
bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual,
2.
bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan berganti,
3.
bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat
intravena,
4.
bayi atau anak yang mendapat transfusi darah atau produk darah
berulang,
5.
anak yang terpapar pada infeksi HIV dari kekerasan seksual
(perlakuan salah seksual), dan
6.
anak remaja dengan hubungan seksual berganti-ganti pasangan.
b.
Cara Penularan
Penularan HIV dari ibu
kepada bayinya dapat melalui:
1)
Dari ibu kepada anak
dalam kandungannya (antepartum)
Ibu hamil yang
terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang dikandungnya. Cara
transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal. Transmisi dapat terjadi
melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada waktu bayi terpapar
dengan darah ibu.
2)
SElama persalinan
(intrapartum)
Selama persalinan bayi
dapat tertular darah atau cairan servikovaginal yang mengandung HIV melalui
paparan trakeobronkial atau tertelan pada jalan lahir.
3)
Bayi baru lahir terpajan
oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi
Pada ibu yang terinfeksi
HIV, ditemukan virus pada cairan vagina 21%, cairan aspirasi lambung pada bayi
yang dilahirkan. Besarnya paparan pada jalan lahir sangat dipengaruhi dengan
adanya kadar HIV pada cairan vagina ibu, cara persalinan, ulkus serviks atau
vagina, perlukaan dinding vagina, infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini,
persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum
atau forsep, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 pada ibu. Ketuban pecah lebih
dari 4 jam sebelum persalinan akan meningkatkan resiko transmisi antepartum
sampai dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam sebelum
persalinan.
4)
Bayi tertular melalui
pemberian ASI.
Transmisi pasca
persalinan sering terjadi melalui pemberian ASI (Air susu ibu). ASI diketahui
banyak mengandung HIV dalam jumlah cukup banyak. Konsentrasi median sel yang
terinfeksi HIV pada ibu yang tenderita HIV adalah 1 per 10 4 sel, partikel
virus ini dapat ditemukan pada componen sel dan non sel ASI. Berbagai factor
yang dapat mempengaruhi resiko tranmisi HIV melalui ASI antara lain mastitis
atau luka di puting, lesi di mucosa mulut bayi, prematuritas dan respon imun
bayi. Penularan HIV melalui ASI diketahui merupakan faktor penting penularan
paska persalinan dan meningkatkan resiko tranmisi dua kali lipat.
C.
Patofisiologi
HIV secara khusus
menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang bekerja sebagai
reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup limfosit penolong dengan
peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga meperlihatkan
pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi
HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4.
HIV secara istimewa
menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan CD4, yang bekerja sebagai
reseptor viral. Subset limfosit ini, yang mencakup linfosit penolong dengan
peran kritis dalam mempertahankan responsivitas imun, juga memperlihatkan
pengurangan bertahap bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi
HIV yang menyebabkan penurunan sel CD4 ini tidak pasti, meskipun kemungkinan
mencakup infeksi litik sel CD4 itu sendiri; induksi apoptosis melalui antigen
viral, yang dapat bekerja sebagai superantigen; penghancuran sel yang
terinfeksi melalui mekanisme imun antiviral penjamu dan kematian atau disfungsi
precursor limfosit atau sel asesorius pada timus dan kelenjar getah bening. HIV
dapat menginfeksi jenis sel selain limfosit. Infeksi HIV pada monosit, tidak
seperti infeksi pada limfosit CD4, tidak menyebabkan kematian sel. Monosit yang
terinfeksi dapat berperang sebagai reservoir virus laten tetapi tidak dapat
diinduksi, dan dapat membawa virus ke organ, terutama otak, dan menetap di
otak. Percobaan hibridisasi memperlihatkan asam nukleat viral pada sel-sel
kromafin mukosa usus, epitel glomerular dan tubular dan astroglia. Pada
jaringan janin, pemulihan virus yang paling konsisten adalah dari otak, hati,
dan paru. Patologi terkait HIV melibatkan banyak organ, meskipun sering sulit
untuk mengetahui apakah kerusakan terutama disebabkan oleh infeksi virus local
atau komplikasi infeksi lain atau autoimun
Infeksi HIV biasanya
secara klinis tidak bergejala saat terakhir, meskipun “ priode inkubasi “
atau interval sebelum muncul gejala infeksi HIV, secara umum lebih singkat pada
infeksi perinatal dibandingkan pada infeksi HIV dewasa. Selama fase ini,
gangguan regulasi imun sering tampak pada saat tes, terutama berkenaan dengan
fungsi sel B; hipergameglobulinemia dengan produksi antibody nonfungsional
lebih universal diantara anak-anak yang terinfeksi HIV dari pada dewasa, sering
meningkat pada usia 3 sampai 6 bulan. Ketidak mampuan untuk berespon terhadap
antigen baru ini dengan produksi imunoglobulin secara klinis mempengaruhi bayi
tanpa pajanan antigen sebelumnya, berperang pada infeksi dan keparahan infeksi
bakteri yang lebih berat pada infeksi HIV pediatrik. Deplesi limfosit CD4 sering
merupakan temuan lanjutan, dan mungkin tidak berkorelasi dengan status
simtomatik. Bayi dan anak-anak dengan infeksi HIV sering memiliki jumlah
limfosit yang normal, dan 15% pasien dengan AIDS periatrik mungkin memiliki
resiko limfosit CD4 terhadap CD8 yang normal. Panjamu yang berkembang untuk
beberapa alasan menderita imunopatologi yang berbeda dengan dewasa, dan
kerentanan perkembangan system saraf pusat menerangkan frekuensi relatif
ensefalopati yang terjadi pada infeksi HIV anak.
D.
Manifestasi klinik
Manifestasi klinis
infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit berat yang
dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda karena sebagian
besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak. Lima
puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur <3 tahun.
Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum
memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.
Gejala klinis yang
terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada di
lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi
nonspesifik berupa :
a.
gagal tumbuh
b.
berat badan
menurun,
c.
anemia,
d.
panas berulang,
e.
limfadenopati, dan
f.
hepatosplenomegali
Gejala yang menjurus
kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu
infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak
memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun,
terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada
organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering
berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar
ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis carinii, radang paru karena
mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium
tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada
paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang.
Manifestasi klinis
lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia interstisialis
limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV pada
jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa
a.
hipoksia,
b.
sesak napas,
c.
jari tabuh, dan
d.
limfadenopati.
e.
Secara radiologis
terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan
mediastinum.
Manifestasi klinis yang
lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik yang mengakibatkan
hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan motorik dan daya intelektual,
sehingga terjadi retardasi mental dan motorik. Ensefalopati dapat merupakan
manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan pelebaran ventrikel
dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat ditemukan pada jaringan
susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal.
E.
Pemeriksaan penunjang
Menurut Hidayat (2008)
diagnosis HIV dapat tegakkan dengan menguji HIV. Tes ini meliputi tes Elisa,
latex agglutination dan western blot. Penilaian Elisa dan latex agglutination
dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi HIV atau tidak, bila dikatakan
positif HIV harus dipastikan dengan tes western blot. Tes lain adalah dengan
cara menguji antigen HIV, yaitu tes antigen P 24 (polymerase chain reaction)
atau PCR. Bila pemeriksaan pada kulit, maka dideteksi dengan tes antibodi
(biasanya digunakan pada bayi lahir dengan ibu HIV.
F.
Diagnosis
Diagnosis awal bayi yang
terinfeksi sangat diinginkan, tetapi pengenalan awal bayi yang beresiko HIV
lebih penting. Hanya jika infeksi HIV pada perempuan hamil teridentifikasi,
terhadap kesempatan untuk mengubah ibu dan bayi secara cepat dengan terapi
antiviral atau preventif. Oleh karena itu uji dan konseling HIV harus menjadi
bagian rutin pada perawatan kehamilan.
a.
pada bayi yang mendapat asi
Bila seorang bayi yang
terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus berisiko tertulari HIV selama
masa pemberian ASI; karenanya uji virologik negatif pada bayi yang terus
mendapat ASI tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV. Dianjurkan uji
virologik dilakukan setelah bayi tidak lagi mendapat ASI selama minimal 6
minggu. Bila saat itu bayi sudah berumur 9-18 bulan saat pemberian ASI
dihentikan, uji antibodi dapat dilakukan sebelum uji virologik, karena secara
praktis uji antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi positif, maka
pemeriksaan uji virologik diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun waktu
yang pasti anak-anak membuat antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post partum
belum diketahui.
b.
Pada Bayi dan anak yang terpapar HIV dan memiliki gejala klinis
Bila uji virologik tidak
dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu memeriksa, semua bayi kurang dari
12 bulan yang terpapar HIV dan menunjukkan gejala dan tanda infeksi HIV harus
dirujuk untuk uji virologik. Hasil yang positif pada stadium apapun menunjukkan
positif infeksi HIV.
c.
Pada Bayi dan anak yang
terpapar HIV asimtomatik
Pada usia 12 bulan,
sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak lagi memiliki antibodi
maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini dapat dianggap indikasi
tertular (94.5% seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas 96%) dan harus
diulang pada usia 18 bulan.
d.
Pada Anak yang berumur kurang dari 18
bulan
Diagnosis definitif
laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan hanya dapat
ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang positif memastikan terdapat
infeksi HIV. Tetapi bila akses untuk uji virologik ini terbatas, WHO
menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu, dimana bayi yang tertular in
utero, maupun intra partum dapat tercakup.
Uji virologik yang
dilakukan pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi bayi yang tertular in
utero, tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4
minggu maka sensitivitasnya naik menjadi 98%.
Satu hasil positif uji
virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti. Meskipun demikian
tetap direkomendasikan untuk melakukan uji ulang pada sampel darah yang
berbeda. Bila tidak mungkin dilakukan dua kali maka harus dipastikan kehandalan
laboratorium penguji.
Pada anak yang
didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali pemeriksaan virologik yang
positif, harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada usia lebih dari 18 bulan.
e.
Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan
Diagnosis definitif
infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan (apakah paparannya
diketahui atau tidak) dapat menggunakan uji antibodi, sesuai proses diagnosis
pada orang dewasa. Konfirmasi hasil yang positif harus mengikuti algoritme
standar nasional, paling tidak menggunakan reagen uji antibodi yang berbeda.
G.
Komplikasi
a.
Oral Lesi
Karena kandidia, herpes
simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human
Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan
berat badan, keletihan dan cacat. Kandidiasis oral ditandai oleh bercak-bercak
putih seperti krim dalam rongga mulut. Jika tidak diobati, kandidiasis oral
akan berlanjut mengeni esophagus dan lambung. Tanda dan gejala yang menyertai
mencakup keluhan menelan yang sulit dan rasa sakit di balik sternum (nyeri
retrosternal).
Neurologik
•
Ensefalopati HIV atau
disebut pula sebagai kompleks dimensia AIDS (ADC; AIDS dementia complex).
Manifestasi dini mencakup gangguan daya ingat, sakit kepala, kesulitan
berkonsentrasi, konfusi progresif, perlambatan psikomotorik, apatis dan
ataksia. stadium lanjut mencakup gangguan kognitif global, kelambatan dalam
respon verbal, gangguan efektif seperti pandangan yang kosong, hiperefleksi
paraparesis spastic, psikosis, halusinasi, tremor, inkontinensia, dan kematian.
•
Meningitis kriptokokus
ditandai oleh gejala seperti demam, sakit kepala, malaise, kaku kuduk, mual,
muntah, perubahan status mental dan kejang-kejang. diagnosis ditegakkan dengan
analisis cairan serebospinal.
b.
Gastrointestinal
Wasting syndrome kini
diikutsertakan dalam definisi kasus yang diperbarui untuk penyakit AIDS.
Kriteria diagnostiknya mencakup penurunan BB > 10% dari BB awal, diare yang
kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis, dan demam yang
kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat menjelaskan gejala
ini.
-
Diare karena bakteri dan
virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan
efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
-
Hepatitis karena bakteri
dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia,
mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
-
Penyakit Anorektal
karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat
infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan
diare.
c.
Respirasi
Pneumocystic Carinii.
Gejala napas yang pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-batuk, nyeri dada,
hipoksia, keletihan dan demam akan menyertai pelbagi infeksi oportunis, seperti
yang disebabkan oleh Mycobacterium Intracellulare (MAI), cytomegalovirus, virus
influenza, pneumococcus, dan strongyloides.
d.
Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus
: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot,
lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar,
infeksi sekunder dan sepsis. Infeksi oportunis seperti herpes zoster dan herpes
simpleks akan disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri dan merusak
integritas kulit. moluskum kontangiosum merupakan infeksi virus yang ditandai
oleh pembentukan plak yang disertai deformitas. dermatitis sosoreika akan
disertai ruam yang difus, bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala
serta wajah.penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh
yang disertai dengan kulit yang kering dan mengelupas atau dengan dermatitis
atopik seperti ekzema dan psoriasis.
e.
Sensorik
-
Pandangan : Sarkoma
Kaposi pada konjungtiva atau kelopak mata : retinitis sitomegalovirus berefek
kebutaan
-
Pendengaran : otitis
eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri yang
berhubungan dengan mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi
obat.
H.
Pemeriksaan Penunjang
a)
Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
-
ELISA (positif; hasil
tes yang positif dipastikan dengan western blot)
-
Western blot (positif)
-
P24 antigen test
(positif untuk protein virus yang bebas)
-
Kultur HIV(positif;
kalau dua kali uji-kadar secara berturut-turut mendeteksi enzim reverse
transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat)
b)
Tes untuk deteksi gangguan system imun.
-
LED (normal namun
perlahan-lahan akan mengalami penurunan)
-
CD4 limfosit (menurun;
mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi terhadap antigen)
-
Rasio CD4/CD8 limfosit
(menurun)
-
Serum mikroglobulin B2
(meningkat bersamaan dengan berlanjutnya penyakit).
-
Kadar immunoglobulin
(meningkat)
I.
Penatalaksanaan
1.
Perawatan
Menurut Hidayat (2008)
perawatan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:
Suportif dengan cara
mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah kemungkinan terjadi
infeksi
Menanggulangi infeksi
opportunistic atau infeksi lain serta keganasan yang ada
Menghambat replikasi HIV
dengan obat antivirus seperti golongan dideosinukleotid, yaitu azidomitidin
(AZT) yang dapat menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus, sehingga
tidak terjadi transkripsi DNA HIV
Mengatasi dampak
psikososial
Konseling pada keluarga
tentang cara penularan HIV, perjalanan penyakit, dan prosedur yang dilakukan
oleh tenaga medis
Dalam menangani pasien
HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus selalu memperhatikan perlindungan universal
(universal precaution)
2.
pengobatan
Pengobatan medikamentosa mencakupi pemberian obat-obat
profilaksis infeksi oportunistik yang tingkat morbiditas dan mortalitasnya
tinggi. Riset yang luas telah dilakukan dan menunjukkan kesimpulan rekomendasi
pemberian kotrimoksasol pada penderita HIV yang berusia kurang dari 12 bulan dan
siapapun yang memiliki kadar CD4 < 15% hingga dipastikan bahaya infeksi
pneumonia akibat parasit Pneumocystis jiroveci dihindari. Pemberian Isoniazid
(INH) sebagai profilaksis penyakit TBC pada penderita HIV masih diperdebatkan.
Kalangan yang setuju berpendapat langkah ini bermanfaat untuk menghindari
penyakit TBC yang berat, dan harus dibuktikan dengan metode diagnosis yang
handal. Kalangan yang menolak menganggap bahwa di negara endemis TBC,
kemungkinan infeksi TBC natural sudah terjadi. Langkah diagnosis perlu
dilakukan untuk menetapkan kasus mana yang memerlukan pengobatan dan yang
tidak.
Obat profilaksis lain
adalah preparat nistatin untuk antikandida, pirimetamin untuk toksoplasma,
preparat sulfa untuk malaria, dan obat lain yang diberikan sesuai kondisi
klinis yang ditemukan pada penderita.
Pengobatan penting
adalah pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset mengenai obat ARV terjadi
sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu mengeradikasi virus dalam bentuk
DNA proviral pada stadium dorman di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan
AIDS sekarang menggunakan paling tidak 3 kelas anti virus, dengan sasaran
molekul virus dimana tidak ada homolog manusia. Obat pertama ditemukan pada
tahun 1990, yaitu Azidothymidine (AZT) suatu analog nukleosid deoksitimidin
yang bekerja pada tahap penghambatan kerja enzim transkriptase riversi. Bila
obat ini digunakan sendiri, secara bermakna dapat mengurangi kadar RNA HIV
plasma selama beberapa bulan atau tahun. Biasanya progresivitas penyakti HIV
tidak dipengaruhi oleh pemakaian AZT, karena pada jangka panjang virus HIV
berevolusi membentuk mutan yang resisten terhadap obat.
3.
Pencegahan
Penularan HIV dari ibu
ke bayi dapat dicegah melalui :
1)
Saat hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar
vital load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan
tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV.
2)
Saat melahirkan. Penggunaan antiretroviral(Nevirapine) saat
persalinan dan bayi baru dilahirkan dan persalinan sebaiknya dilakukan dengan
metode sectio caesar karena terbukti mengurangi resiko penularan sebanyak 80%.
3)
Setelah lahir. Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat ASI
BAB
III
KONSEP
KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
-
Lakukan pengkajian fisik
-
Dapatkan riwayat
imunisasi
-
Dapatkan riwayat yang
berhubungan dengan faktor resiko terhadap aids pada anak-anak: exposure in
utero to HIV-infected mother, pemajanan
terhadap produk darah, khususnya anak dengan hemophilia, remaja yang menunjukan
prilaku resiko tinggi
-
Observasi adanya
manifestasi AIDS pada anak-anak: gagal tumbuh, limfadenopati,
hepatosplenomegali
-
Infeksi bakteri berulang
-
Penyakit paru khususnya
pneumonia pneumocystis carinii (pneumonitys inter interstisial limfositik, dan
hyperplasia limfoid paru).
-
Diare kronis
-
Gambaran neurologis,
kehilangan kemampuan motorik yang telah di capai sebelumnya, kemungkinan
mikrosefali, pemeriksaan neurologis abnormal
-
Bantu dengan prosedur
diagnostik dan pengujian missal tes antibody serum.
2.
Diagnosa
1)
Bersihan jalan nafas inefektif berhubungan dengan akumulasi secret
sekunder terhadap hipersekresi sputum karena proses inflamasi
2)
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan ekspnsi
paru
3)
Hipertermi berhubungan dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus
sekunder terhadap reaksi antigen dan antibody (Proses inflamasi)
4)
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
5)
Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan
motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan.
6)
Nyeri berhubungan dengan proses penyakit (misal:
ensefalopati, pengobatan).
7)
Risiko tinggi kekurangan
volume cairan berhubungan dengan penurunan pemasukan dan pengeluaran sekunder
karena kehilangan nafsu makan dan diare
8)
Risiko kerusakan
integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan herpers zoster
sekunder proses inflamasi system integumen
9)
Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan
penyakit yang mengancam hidup.
3.
Intervensi Keperawatan
Menurut Wong (2004)
intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi diagnosa
keperawatan pada anak yang menderita HIV antara lain
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret
Tujuan : Anak
menunjukkan jalan nafas yang efektif
Intervensi
a)
Auskultasi area paru, catat area penurunan/tidak ada aliran udara
dan bunyi napas adventisius,
R/ : penurunan aliran
udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan. Bunyi napas bronkhial dapat
juga terjadi pada area konsolidasi.
b)
Mengkaji ulang tanda-tanda vital (irama dan frekuensi, serta
gerakan dinding dada
R/ : takipnea,
pernapasan dangkal dan gerakan dada tidak simetris terjadi karena ketidaknyaman
gerakan dinding dada dan atau cairan paru-paru
c)
Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/bantu pasien
mempelajari melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif sementara
posisi duduk tinggi
R/ : Napas dalam
memudahkan ekspansi maksimum paru/jalan napas lebih kecil. Batuk adalah
mekanisme pembersihan jalan napas alami membantu silia untuk mempertahankan
jalan napas paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk
memungkinkan upaya napas lebih dalam dan lebih kuat
4.
Penghisapan sesuai
indikasi
R/ : merangsang batuk
atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tidak mampu
melakukan karena batuk tidak efektif atau penurunan tingkat kesadaran
5.
Berikan cairan
sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan air hangat dari pada
dingin
R/ : Cairan (khususnya
yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan sekret
6.
Memberikan obat yang
dapat meningkatkan efektifnya jalan nafas (seperti bronchodilator)
R/ : alat untuk
menurunkan spasme bronkhus dengan memobilisasi sekret, obat bronchodilator
dapat membantu mengencerkan sekret sehingga mudah untuk dikeluarkan
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
Tujuan : anak dapat
menunjukan pola napas yang efektif
Intervensi
1.
Kaji frekuensi,
kedalaman pernafasan dan ekspansi paru. Catat upaya pernafasan, termaksud
penggunaan otot bantu.
R/ Kecepatan biasanya
meningkat. Dispnue dan terjadi peningkatan kerja nafas. Kedalaman pernafasan
berfariasi tergantung derajat gagal nafas.
2.
Auskultasi bunyi nafas
dan catat adanya bunyi seperti ronchi.
R/ Bunyi nafas menurun /
tidak ada bila jalan nafas obstruktif sekunder terhadap pendarahan, Ronki dan
mengi menyertai obstrusi jalan nafas/ kegagalan nafas.
3. Tinggkan kepala
dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun sari tempat
tidur dan ambulansi sesegera mungkin.
R/ Duduk tinggi
memungkinkan ekspansi paru memudahkan pernafasan.
4.Observasi pola batuk
dan karakter sekret.
R/ Kongesti alveolar
mengakibatkan batuk kering / iritasi. Sputum berdarah dapat mengakibatkan
infark jaringan.
5.Berikan oksigen
tambahan.
R/ Memaksimalkan
bernafas dan menurunkan kerja nafas.
3.
Hipertermi berhubungan
dengan pelepasan pyrogen dari hipotalamus sekunder terhadap reaksi antigen dan
antibody
Tujuan :Anak akan
mempertahankan suhu tubuh kurang dari 37,5 oC
Intervensi
1.
Pertahankan lingkungan
sejuk, dengan menggunakan piyama dan selimut yang tidak tebal serta pertahankan
suhu ruangan antara 22o dan 24 oC
R/ : Lingkungan yang
sejuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan cara radiasi
2.
Beri antipiretik sesuai
petunju
R/ : Antipiretik seperti
asetaminofen (Tylenol), efektif menurunkan demam
3.
Pantau suhu tubuh anak
setiap 1-2 jam, bila terjadi peningkatan secara tiba-tib
R/ : Peningkatan suhu
secara tiba-tiba akan mengakibatkan kejang
4.
Beri
antimikroba/antibiotik jira disaranka
R/ : Antimikroba mungkin
disarankan untuk mengobati organismo penyebab.
5.
Berikan kompres dengan
suhu 37 oC pada anak untuk menurunkan demam
R/ : kompres hangat
efektif mendinginkan tubuh melalui cara konduksi
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekambuhan penyakit, diare, kehilangan nafsu makan, kandidiasis oral
Tujuan :
Pasien mendapatkan nutrisi yang optimal dengan
kriteria hasil anak mengkonsumsi jumlah nutrien yang cukup
Intervensi :
1.
Berikan makanan dan
kudapan tinggi kalori dan tinggi protein
R/ : Untuk memenuhi
kebutuhan tubuh untuk metabolisme dan pertumbuhan
2.
Beri makanan yang
disukai anak
R/ : Untuk mendorong
agar anak mau makan
3.
Perkaya makanan dengan
suplemen nutrisi, misalnya susu bubuk atau suplemen yang dijual bebas
R/ : Untuk memaksimalkan
kualitas asupan makanan
4.
Berikan makanan ketika
anak sedang mau makan dengan baik
R/ : Ketika anak mau
makan adalah kesempatan yang berharga bagi perawat maupun orang tua untuk
memberikan makanan sehingga porsi yang disediakan dihabiskan
5.
Gunakan kreativitas
untuk mendorong anak
R/ : Dapat menarik minat
anak untuk makan dan menghabiskan porsi makanan yang disediakan
6.
Pantau berat badan dan
pertumbuhan
R/ : Pemantauan berat
badan dilakukan sehingga intervensi nutrisi tambahan dapat diimplementasikan
bila pertumbuhan mulai melambat atau berat badan turun
7.
Berikan obat antijamur
sesuai instruksi
R/ : Untuk mengobati
kandidiasis oral
5. Perubahan eliminasi (diare) yang berhubungan dengan peningkatan motilitas usus sekunder proses inflamasi system pencernaan
Tujuan : Orang tua
melaporkan penurunan frekuensi defekasi dengan kriteria, konsistensi feases
kembali normal dan orang tua mampu mengidentifikasi/menghindari faktor
pemberat.
Intervensi :
1.
Observasi dan catat
frekuensi defekasi, karakteristik, jumlah dan faktor pencetus
R/ : Membantu membedakan
penyakit individu dan mengkaji beratnya episode.
2.
Tingkat tirah baring,
berikan alat-alat disamping tempat tidur
R/ : Istirahat
menurunkan motilitas usus juga menurunkan laju metabolisme bila infeksi atau
perdarahan sebagai komplikasi.
3.
Buang feses dengan cepat
dan berikan pengharum ruangan
R/ : menurunkan bau
tidak sedap untuk menghindari rasa malu pasien
4.
Identifikasi makanan dan
cairan yang mencetuskan diare (misalnya sayuran segar, buah, sereal, bumbu,
minuman karnonat, produks susu)
R/ : Menghindarkan
irirtan meningkatkan istirahat usus
5.
Mulai lagi pemasukan
cairan per oral secara bertahap dan hindari minuman dingin
R/ : memberikan
istirahat kolon dengan menghilangkan atau menurunkan rangsang makanan/cairan.
Makan kembali secara bertahap cairan mencegah kram dan diare berulang, namun
cairan yang dingin dapat meningkatkan motilitas usus
6.
Berikan kolaburasi
antibiotik
R/ : Mengobati infeksi
supuratif fokal
6. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit (misal: ensefalopati, pengobatan).
Tujuan : Pasien tidak
menunjukkan atau tidak ada bukti nyeri atau peka rangsang dengan kriteria hasil
bukti-bukti atau peka rangsang yang ditunjukkan anak minimal atau tidak ada
Intervensi :
1.
Kaji nyeri dan gunakan
strategi nonfarmakologis
R/ : Teknik-teknik
seperti relaksasi, pernapasan dalam berirama dan distraksi dapat membuat nyeri
dapat lebih ditoleransi
2.
Untuk bayi dapat dicoba
tindakan kenyamanan umum (misalnya: mengayun, menggendong, membuai, menurunkan
stimulus lingkungan
R/ : Dapat mengurangi
nyeri atau mengalihkan nyeri anak
3.
Gunakan strategi
farmakologis
R/ : rapat membantu
mengurangi atau menghilangkan nyeri
4.
Rencanakan jadual awal
pencegahan bila analgesik efektif dalam mengurangi nyeri yang terus menerus
R/ : Untuk
mempertahankan kadar analgesik mantap dalam darah
5.
Anjurkan penggunaan
premedikasi untuk prosedur yang menimbulkan nyeri
R/ : Dapat mengurangi
nyeri pada saat dilakukan tindakan perawatan
6.
Gunakan catatan
pengkajian nyeri
R/ : Untuk mengevaluasi
efektifitas intervensi keperawatan
7. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pemasukan dan pengeluaran sekunder karena kehilangan nafsu makan dan diare
Tujuan : keseimbangan
cairan tubuh adekuat dengan kriteria hasil : tidak ada ada tanda-tanda
dehidrasi (tanda-tanda vital stabil, kualitas denyut nadi baik, turgor kulit
normal, membran mukosa lembab dan pengeluaran urine yang sesuai).
Intervensi :
1.
Ukur dan catat pemasukan
dan pengeluaran. Tinjau ulang catatan intra operasi.
R/ : dokumentasi yang
akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan/kebutuhan
penggantian dan pilihan-pilihan yang mempengaruhi intervensi.
2.
Pantau tanda-tanda
vital.
R/ :
hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan
mengindikasikan kekurangan kekurangan cairan.
3.
Letakkan pasien pada
posisi yang sesuai, tergantung pada kekuatan pernapasan.
R/ : elevasi kepala dan
posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari muntah, posisi yang benar
akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan tekanan
pada diafragma.
4.
Pantau suhu kulit, palpasi
denyut perifer.
R/
: kulit yang dingin/lembab, denyut yang lemah
mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk penggantian
cairan tambahan.
5.
Kolaborasi, berikan
cairan parenteral, produksi darah dan atau plasma ekspander sesuai petunjuk.
Tingkatkan kecepatan IV jika diperluakan.
R/ : gantikan kehilangan
cairan yang telah didokumentasikan. Catat waktu penggangtian volume sirkulasi
yang potensial bagi penurunan komplikasi, misalnya ketidak seimbangan.
8. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan dermatitis seboroik dan herpers zoster sekunder proses inflamasi system integument
Tujuan : Anak
menunjukkan integritas kulit yang utuh dengan kriteria hasil : infeksi virus
herpes tidak meluas, anak tidak menggaruk kulit yang terinfeksi dan orang tua
mendemonstrasikan cara perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit.
Intervensi :
1.
Pasang alat pelembab
dalam rumah untuk menghindari kulit terlalu kering
R/ : Kulit yang kering
dapat mempermudah terjadinya kerusakan kulit sehingga perlu dijaga
kelembabannya sehingga kulit tidak mudah lecet
2.
Bersihkan daerah yang
tidak infeksi
R/ : membersighan daerah
yang tidak terinfeksi dapat mencegah terjadinya perluasan infeksi kulit
3.
Sarankan klien untuk tidak
menggaruk
R/ : Menggaruk dapat
mendorong terjadinya diskountinuitas jaringan kulit, apa bila jika dilakukan
dengan keras/kuat
4.
Kulit yang mengeras dan
bersisik jangan dikupas, biarkan terkelupas sendir
R/ : berusaha
mengelupas/melepas kulit yang bersisik dapat memicu terjadinya luka pada kulit
yang bersisik
5.
Pemberian antibiotik
sistemik
R/ : pemberian
antibiotik dapat membantu membasmi bakteri sehingga infeksi kulit tidak meluas
9. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak dengan penyakit yang mengancam hidup
Tujuan : Pasien dan
keluarga mendapat dukungan yang adekuat dan keluarga dapat terlibat dengan
kelompok-kelompok khusus
Intervensi :
1.
Kenali masalah keluarga
dan kebutuhan akan informasi dan dukungan
R/ : dengan mengkaji
masalah yang dihadapi keluarga perawat dapat membuat rencana intervensi yang
tepat serta dapat melakukan pendekatan dengan keluarga dengan cara yang tepat.
2.
Kaji pemahaman keluarga
tentang diagnosa dan rencana perawatan
R/ : Tingkat pemahaman
keluarga tentang penyakit dan terapinya sangat diperlukan perawat dapat
menentukan intervensi yang tepat
3.
Tekankan dan jelaskan
penjelasan profesional kesehatan tentang kondisi anak, prosedur dan terapi yang
dianjurkan serta prognosanya
R/ : penjelasan yang
tepat dari profesional akan mempertegas bahwa informasi yang didapatkan tentang
penyakit dan terainya tersebut tepat
4.
Gunakan setiap
kesempatan untuk meningkatkan pemahaman keluarga tentang penyakit dan terapinya
dan ulangi informasi sesering mungkin
R/ : Untuk memfasilitasi
keluarga belajar dan meningkatkan kemampuannya dalam merawat klien
5.
Bantu orang tua
mengintepretasikan perilaku dan respon bayi atau anak
R/ : Menginteoretasikan
perilaku dan respon bayi atau anak secara tepat dapat membantu keluarga dalam
mengambil keputusan kapan harus lapor perawat atau dokter
6.
Sambut keberadaan
keluargatanpa batas
R/ : untuk meningkatkan
hubungan keluarga
7.
Dorong keluarga untuk
memberikan barang-barang yang berarti dan dapat diatur pada anak
R/ : Untuk memberikan
rasa aman
8.
Rujuk pada kelompok
pendukung dan lembaga-lembaga khusus (mis yayasan HIV/AIDS Indonesia)
R/ : untuk dukungan
interpersonal tambahan dan konkret (misalnya pelayanan sosial, rohaniawan dan
yayasan HIV AIDS Indonesia
Daftar Pustaka
Christine L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.
Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta
Mansjoer,A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculopius: Jakarta
Abednego, Hadi M, 1998. Kemitraan Dalam Pelaksanaan Strategi Nasional. Penanggulangan AIDS, Depkes RI, Jakarta,.
Admosuharto K, 1993. Epidemiologi AIDS dan Strategi Pemberantasan di Indonesia, Media Litbangkes vol. III no. 4 Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 1989. AIDS Petunjuk untuk Petugas kesehatan, Jakarta.
Departemen kesehatan RI, 1992. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta. Djamin, SPH, 1992. Perubahan Perilaku dan Ketahanan Keluarga sebagai Pilar Utama Pencegahan dan Pananggulangan AIDS, Media Litbangkes vol. VI no. 04 Jakarta.
Djauzi, S, Sihombing G, 1992. Pengumpulan Data dengan Diskusi Kelompok Terarah dan Wawancara Mendalam pada Kelompok Risiko Tinggi AIDS di Jakarta, Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia taun X, No. 7 Jakarta.
Gde Muninjaya, 1997. AIDS di Indonesia. Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya. EGC. Jakarta.
Daftar Pustaka
Christine L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.
Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta
Mansjoer,A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculopius: Jakarta
Abednego, Hadi M, 1998. Kemitraan Dalam Pelaksanaan Strategi Nasional. Penanggulangan AIDS, Depkes RI, Jakarta,.
Admosuharto K, 1993. Epidemiologi AIDS dan Strategi Pemberantasan di Indonesia, Media Litbangkes vol. III no. 4 Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 1989. AIDS Petunjuk untuk Petugas kesehatan, Jakarta.
Departemen kesehatan RI, 1992. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta. Djamin, SPH, 1992. Perubahan Perilaku dan Ketahanan Keluarga sebagai Pilar Utama Pencegahan dan Pananggulangan AIDS, Media Litbangkes vol. VI no. 04 Jakarta.
Djauzi, S, Sihombing G, 1992. Pengumpulan Data dengan Diskusi Kelompok Terarah dan Wawancara Mendalam pada Kelompok Risiko Tinggi AIDS di Jakarta, Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia taun X, No. 7 Jakarta.
Gde Muninjaya, 1997. AIDS di Indonesia. Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya. EGC. Jakarta.
Ben 15 yaşındayım. HIV ile doğdum, annem HIV enfeksiyonu yüzünden öldü ve ben de hiç bu kadar tanımadığım için pişmanım Dr Itua annem için benim için tedavi edemedi çünkü bekar bir anne olarak annem için çok zordu. HIV / Aids Herpes, Parkison, Copd, Epilepsi, Zona, Soğuk Ağrıları, Kısırlık, Kronik Yorulma Sendromu, Fibromiyalji, Diyabet Hepatit gibi farklı ırk hastalıklarında nasıl farklı hastalıkları tedavi ettiği konusunda çevrimiçi Çevrimiçi olarak böyle bir makaleye rastlamadım, sonra Mail'le Dr Itua ile bağlantıya geçtim drituaherbalcenter@gmail.com Ayrıca onunla ne hakkında konuştuğumu +2348149277967 nasıl çalıştığını, sonra nasıl devam edeceğimi söylediğimi söyle hızlı bir şekilde Colorado postanesi 4/5 iş günü içinde bitkisel ilacımı alıyorum bana takip edeceğim lonca çizgileri verdi ve burada tekrar sağlıklı mı yaşıyorum Tanrı'nın eserlerini tezahür ettirmek için nasıl erkekler kullandığını hayal edebiliyorum, tüm makalelerde çevrimiçi olarak tanrıyı yaymak için yazıyorum eseri Itua Bitkisel Tıp, O harika bir adam.
ReplyDelete