KAITAN
HISTORI DENGAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT
Filsafat adalah studi
tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan
dijabarkan dalam konsep mendasar.
Filsafat ilmu adalah
segenap pemikiran mengenai apa dan bagaimana pembentukan dan perkembangan ilmu
pengetahuan serta landasan, sifat dan fungsinya bagi kehidupan manusia.
Sedangkan pengertian
History dalam kamus indonesia-inggris.kata yaitu ‘sejarah’ diterjemahkan
sebagai History.kata history mengandung beberapa arti ;
·
Hya,Istory merupakan
kumpulan peristiwa masa lalu.
·
History merupakan
rangkaian peristiwa yg terjadi berturut-turut dari masa lalu sampai masa
sekarang,bahkan sampai masa depan.
·
History merupakan
suatu catatan atau deskripsi naratif dan peristiwa- peristiwa masa lalu yang
berkaitan dengan manusia.
·
History merupakan
disiplin ilmu yang mencatat dan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa masa
lalu ygyg berkaitan dengan manusia.
·
History merupakan
semua yg diingat tentang masa lalu dalam bentuk tulisan.
Dari pengertian diatas dapat
disimpulkan tentang kaitan history dengan filsafat yang saling mempengaruhi
satu dengan yang lainya yang akan dipaparkan dalam pembahasan di bawah ini ;
1.
Sejarah Perkembangan Pemikiran
Yunani Kuno: Dari Mitos ke Logos
Secara
historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir)
tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat,
dalam hal ini adalah sejarah filsafat. Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal
3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni tradisi:
(1)
Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM –
dewasa ini),
(2)
Sejarah Filsafat Cina (sekitar 600 SM –
dewasa ini), dan
(3)
Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM –
dewasa ini).
Dari
ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah
basis kelahiran dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain)
sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Titik-tolak dan orientasi sejarah
filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat India maupun
Cina disatu pihak dan Sejarah FilsafatBarat dilain pihak, yakni semenjak
periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang
berbeda. Pada tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina, lebih memperlihatkan
perhatiannya yang besar pada masalah-masalah keagamaan, moral/etika dan
cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia dan kelak
keselamatan sesudah kematian.
Sedangkan
pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya (Yunani
Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai
mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang dianggap
sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché, sedangkan
Anaximander (sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché adalah
sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat
“udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain pada
periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides (515 – 440 SM),
Herakleitos mengemukakan bahwa segala sesuatu itu “mengalir” (“panta rhei”) bahwa
segala sesuatu itu berubah terusmenerus sedangkan Parmenides menyatakan bahwa
segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu yang tetap (tidak berubah).
Lain
lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri
dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”,
dan Pythagoraslah orang pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai
sorang “filsuf”, yakni seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapai
kebenaran melalui berpikir/bermenung secara kritis dan radikal (radix)
secara terus-menerus. Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari
unsur induk segala sesuatu (arche), itulah momentum awal
sejarah yang telah membongkar periode myte (mythos/mitologi) yang
mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah rasionalitas (logos)
dengan suatu metode berpikir untuk mencari sebab awal dari segala sesuatu
dengan merunut dari hubungan kausalitasnya (sebab-akibat).
Jadi
unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan logika (konsekuensi).
Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih
bersifat spekulatif dalam arti masih belum dikembangkan lebih lanjut
dengan melakukan pembuktian (verifikasi) melalui observasi maupun
eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi
prosedur berpikir untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat
secara rasional itulah yang patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah
pemikiran manusia. Hubungan sebab-akibat inilah yang dalam ilmu pengetahuan
disebut sebagai hukum (ilmiah). Singkatnya, hukum ilmiah atau
hubungan sebab-akibat merupakan obyek material utama dari ilmu
pengetahuan. Demikian pula kelak dengan tradisi melakukan verifikasi melalui
observasi dan eksperimen secara berulangkali dihasilkan teori ilmiah.
Zaman
keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada masa Sokrates (±
470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Sokrates
sebagai guru dari Plato maupun tidak meninggalkan karya tulis satupun dari hasil
pemikirannya, tetapi pemikiran-pemikirannya secara tidak langsung banyak dikemukakan
dalam tulisan-tulisan para pemikir Yunani lainnya tetapi terutama ditemukan
dalam karya muridnya Plato. Filsafat Plato dikenal sebagai ideal (isme) dalam
hal ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau baying-bayangan
dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh karena itu yang ada nyata
adalah “ide” itu sendiri. Filsafat Plato juga merupakan jalan tengah dari ajaran
Herakleitos dan Parmenides. Dunia “ide” itulah yang tetap tidak berubah/abadi sedangkan
kenyataan yang dapat diobservasi sebagai sesuatu yang senantiasa berubah.
Karya-Karya lainnya dari Plato sangat dalam dan luas meliputi logika, epistemologi,
antropologi (metafisika), teologi, etika, estetika, politik, ontologi dan filsafat
alam.
Sedangkan
Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju/berlawanan
dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato). Bagi Aristoteles “ide” bukanlah
terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi
justru terletak pada kenyataan/benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai
dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”).
Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan
tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. Dengan demikian
maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan
kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi.
Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika, politik, metafisika,
psikologi dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak
menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan
2.
Jaman Patristik dan Skolastik:
Filsafat Dalam dan Untuk Agama
Pada
jaman ini dikenal sebagai Abad Pertengahan (400-1500 ). Filsafat pada abad ini dikuasai
dengan pemikiran keagamaan (Kristiani). Puncak filsafat Kristiani ini adalah Patristik
(Lt. “Patres”/Bapa-bapa Gereja) dan Skolastik Patristik sendiri dibagi
atas Patristik Yunani (atau Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau
Patristik Barat).
Tokoh-tokoh
Patristik Yunani ini anatara lain Clemens dari Alexandria (150-215), Origenes (185-254),
Gregorius dari Naziane (330-390), Basilius (330-379). Tokoh-tokoh dari
Patristik Latin antara lain Hilarius (315-367), Ambrosius (339-397), Hieronymus
(347-420) dan Augustinus (354-430). Ajaran-ajaran dari para Bapa Gereja ini
adalah falsafi-teologis, yang pada intinya ajaran ini ingin memperlihatkan bahwa
iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Ajaran-ajaran ini
banyak pengaruh dari Plotinos. Pada masa ini dapat dikatakan era filsafat yang berlandaskan
akal-budi “diabdikan” untuk agama.
Jaman
Skolastik (sekitar tahun 1000), pengaruh Plotinus diambil alih oleh
Aristoteles.Pemikiran-pemikiran Ariestoteles kembali dikenal dalam karya
beberapa filsuf Yahudi maupun Islam, terutama melalui Avicena (Ibn. Sina,
980-1037), Averroes (Ibn. Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-1204).
Pengaruh Aristoteles demikian besar sehingga ia (Aristoteles) disebut sebagai
“Sang Filsuf” sedangkan Averroes yang banyak membahas karya Aristoteles
dijuluki sebagai “Sang Komentator”. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman
Kristiani menghasilkan filsuf penting sebagian besar dari ordo baru yang lahir
pada masa Abad Pertengahan, yaitu, dari ordo Dominikan dan Fransiskan..
Filsafatnya disebut “Skolastik” (Lt. “scholasticus”, “guru”), karena
pada periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah biara dan
universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang baku dan bersifat
internasional. Inti ajaran ini bertema pokok bahwa ada hubungan antara iman dengan
akal budi. Pada masa ini filsafat mulai ambil jarak dengan agama, dengan melihat
sebagai suatu kesetaraan antara satu dengan yang lain (Agama dengan Filsafat)
bukan yang satu “mengabdi” terhadap yang lain atau sebaliknya. Sampai dengan di
penghujung Abad Pertengahan sebagai abad yang kurang kondusif terhadap
perkembangan ilmu, dapatlah diingat dengan nasib seorang astronom berkebangsaan
Polandia N. Copernicus yang dihukum kurungan seumur hidup oleh otoritas Gereja,
ketika mengemukakan temuannya tentang pusat peredaran benda-benda angkasa
adalah matahari (Heleosentrisme). Teori ini dianggap oleh otoritas Gereja
sebagai bertentangan dengan teori geosentrisme (Bumi sebagai pusat peredaran
benda-benda angkasa) yang dikemukakan oleh Ptolomeus semenjak jaman Yunani yang
justru telah mendapat “mandat” dari otoritas Gereja. Oleh karena itu dianggap
menjatuhkan kewibawaan Gereja.
3.
Jaman Modern: Lahir dan
Berkembangan Tradisi Ilmu Pengetahuan
Jembatan
antara Abad pertengahan dan Jaman Modern adalah jaman “Renesanse”, periode
sekitar 1400-1600. Filsuf-filsuf penting dari jaman ini adalah N. Macchiavelli (1469-1527),
Th. Hobbes (1588-1679), Th. More (1478-1535) dan Frc. Bacon (1561-1626).
Pembaharuan yang sangat bermakna pada jaman ini ((renesanse) adalah “antroposentrisme”nya.
Artinya pusat perhatian pemikiran tidak lagi kosmos seperti pada jaman Yunani
Kuno, atau Tuhan sebagaimana dalam Abad Pertengahan. Setelah Renesanse mulailah
jaman Barok, pada jaman ini tradisi rasionalisme ditumbuh-kembangkan oleh
filsuf-filsuf antara lain; R. Descartes (1596-1650), B.Spinoza (1632-1677) dan
G. Leibniz (1646-1710). Para Filsuf tersebut di atas menekankan pentingnya
kemungkinan-kemungkinan akal-budi (“ratio”) didalam mengembangkan pengetahuan
manusia.
Pada
abad kedelapan belas mulai memasuki perkembangan baru. Setelah reformasi, renesanse
dan setelah rasionalisme jaman Barok, pemikiran manusia mulai dianggap telah
“dewasa”. Periode sejarah perkembangan pemikiran filsafat disebut sebagai “Jaman
Pencerahan” atau “Fajar Budi” (Ing. “Enlightenment”, Jrm. “Aufklärung”.
Filsuf-filsuf pada jaman ini disebut sebagai para “empirikus”, yang ajarannya
lebih menekankan bahwa suatu pengetahuan adalah mungkin karena adanya
pengalaman indrawi manusia (Lt. “empeira”, “pengalaman”).
4.
Masa Kini: Suatu Peneguhan Ilmu
Yang Otonom
Pada
abad ketujuh belas dan kedelapan belas perkembangan pemikiran filsafat pengetahuan
memperlihatkan aliran-aliran besar: rasionalisme, empirisme dan idealisme
dengan mempertahankan wilayah-wilayah yang luas. Dibandingkan dengan filsafat
abad ketujuh belas dan abad kedelapan belas, filsafat abad kesembilan belas dan
abad kedua puluh banyak bermunculan aliran-aliran baru dalam filsafat tetapi wilayah
pengaruhnya lebih tertentu. Akan tetapi justru menemukan bentuknya (format)
yang lebih bebas dari corak spekulasi filsafati dan otonom. Aliran-aliran tersebut
antara laian: positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme,
neokantianisme,neo-tomisme dan fenomenologi. Berkaitan dengan filosofi
penelitian Ilmu Sosial, aliran yang tidak bisa dilewatkan adalah positivisme
yang digagas oleh filsuf A. Comte (1798-1857). Menurut Comte pemikiran
manusia dapat dibagi kedalam tiga tahap/fase, yaitu tahap:
(1)
Teologis,
(2)
Metafisis, dan
(3)
Positif-ilmiah.
Bagi
era manusia dewasa (modern) ini pengetahuan hanya mungkin dengan
menerapkan metode-metode positif ilmiah, artinya setiap pemikiran hanya benar
secara ilmiah bilamana dapat diuji dan dibuktikan dengan pengukuran-pengukuran
yang jelas dan pasti sebagaimana berat, luas dan isi suatu benda. Dengan
demikian Comte menolak spekulasi “metafisik”, dan oleh karena itu ilmu
sosial yang digagas olehnya ketika itu dinamakan “Fisika Sosial” sebelum
dikenal sekarang sebagai “Sosiologi”. Bisa dipahami, karena pada masa
itu ilmu-ilmu alam (Natural sciences) sudah lebih “mantap” dan “mapan”,
sehingga banyak pendekatan dan metode-metode ilmu-ilmu alam yang diambil-oper
oleh ilmu-ilmu sosial (Social sciences) yang berkembang sesudahnya.
Pada
periode terkini (kontemporer) setelah aliran-aliran sebagaimana disebut
di atas munculah aliran-aliran filsafat, misalnya : “Strukturalisme” dan
“Postmodernisme”. Strukturalisme dengan tokoh-tokohnya misalnya Cl.
Lévi-Strauss, J. Lacan dan M. Faoucault. Tokoh-tokoh Postmodernisme antara
lain. J. Habermas, J. Derida. Kini oleh para epistemolog (ataupun dari kalangan
sosiologi pengetahuan) dalam perkembangannya kemudian, struktur ilmu
pengetahuan semakin lebih sistematik dan lebih lengkap (dilengkapi dengan,
teori, logika dan metode sain), sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter
L.Wallace dalam bukunya The Logic of Science in Sociology.
Dari
struktur ilmu tersebut tidak lain hendak dikatakan bahwa kegiatan keilmuan/ilmiah
itu tidak lain adalah penelitian (search dan research). Demikian pula hal
ada dan keberadaan (ontologi/metafisika) suatu ilmu /sain
berkaitan dengan watak dan sifat-sifat dari obyek suatu ilmu /sain dan kegunaan/manfaat
atau implikasi (aksiologi) ilmu /sain juga menjadi bahasan dalam
filsafat ilmu. Setidaktidaknya hasil pembahasan kefilsafatan tentang ilmu
(Filsafat Ilmu) dapat memberikan perspektif kritis bagi ilmu /sain
dengan mempersoalkan kembali apa itu:pengetahuan, kebenaran, metode
ilmiah/keilmuan, pengujian/verifikasi dan sebaliknya hasil-hasil terkini dari
ilmu /sain dan penerapannya dapat memberikan umpan-balik bagi Filsafat Ilmu
sebagai bahan refleksi kritis dalam pokok bahasannya (survey of
sciences) sebagaimana yang dikemukakan oleh Whitehead dalam bukunya Science
and the Modern World (dalam Hamersma, 1981:48)
DAFTAR PUSTAKA
Gordon,
Scott. 1991. The history and philosophy of social science. New York: Routledge.
Hamersma,
Harry,. 1981. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Lanur,
Alex ,. 1985. Logika: Selayang Pandang. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sonny
Keraf, A. dan Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Wallace,
Walter L. 1971. The Logic of Science in Sociology. New York: Aldine Publishing
Company
Wedberg,
Anders. 1982. A History of Philosophy. Oxford: Clarendon Press. Volume 1
& 2.
www.google.com. 2012. Filsafat. Dari Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.
stParag�
I" t ��y � y in-top:0in;margin-right:0in;margin-bottom:
0in;margin-left:.25in;margin-bottom:.0001pt;mso-add-space:auto;text-align:justify;
text-indent:-.25in;line-height:150%;mso-list:l0 level1 lfo6'>2. Mekanisme
Pertahanan Ego
Membantu seseorang; untuk mengatasi kecemasan ringan
dan sedang yang digunakan untuk melindungi diri dan dilakukan secara tidak
sadar untuk memper tahankan keseimbangan.
FAKTOR-
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KECEMASAN
Tidak semua kecemasan
dapat dikatakan bersifat patologis ada juga kecemasan yang bersifat normal
Dibawah ini adalah faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan menurut
Adikusumo (2003) dari berbagai sumber :
1. Faktor
Internal
a.
Usia
Permintaan bantuan dari sekeliling menurun dengan
bertambahnya usia, pertolongan diminta bila ada kebutuhan akan kenyamanan,
reasurance dan nasehat- nasehat.
b.
Pengalaman
Individu yang mempunyai modal kemampuan pengalaman
menghadapi stres dan punya cara menghadapinya akan cenderung lebih menganggap
stres yang bertapun sebagai masalah yang bisa diseleseikan. Tiap pengalaman
merupakan sesuatu yang berharga dan belajar dari pengalaman dapat meningkatkan
ketrampilan menghadapi stres.
c.
Aset Fisik
Orang dengan aset fisik yang besar, kuat dan garang
akan menggunakan aset ini untuk menghalau stres yang datang mengganggu.
2. Faktor
Eksternal
a.
Pengetahuan
Seseorang yang mempunyai ilmu pengtahuan dan
kemampuan intelektual akan dapat meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri
dalam menghadapi stres mengikuti berbagai kegiatan untuk meningkatkan kemampuan
diri akan banyak menolong individu tersebut.
b.
Pendidikan
Peningkatan pendidikan dapat pula mengurangi rasa
tidak mampu untuk menghadapi stres. Semakin tinggi pendidikan seseorang akan
mudah dan semakin mampu menghadapi stres yang ada.
c.
Financial/ Material
Aset berupa harta yang melimpah tidak akan
menyebabkan individu tersebut mengalami stres berupa kekacauan finansial, bila
hal ini terjadi dibandingkan orang lain yang aset finasialnya terbatas.
d.
Keluarga
Lingkungan kecil dimulai dari lingkungan keluarga,
peran pasangan dalam hal ini sangat berarti dalam memberi dukungan. Istri dan
anak yang penuh pengertian serta dapat mengimbangi kesulitan yang dihadapi
suami akan dapat memberikan bumper kepada kondisi stres suaminya.
e.
Obat
Dalam bidang Psikiatri dikenala obata- obatan yang
tergolong dalam kelompok anti ansietas. Obat- obat ini mempunyai kasiat
mengatasi ansietas sehingga penderitanya cukup tenang.
f.
Sosial Budaya Suport.
Dukungan sosial dan sumber- sumber masyarakat serta
lingkungan sekitar individu akan sangat membantu seseorang dalam menghadapi
stresor, pemecahan asalah bersama- sama dan tukar pendapat dengan orang
disekitarnya akan membuat situasi individu lebih siap menghadapi stres yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. (1998). Prosedure
penelitian suatu pendekatan Praktek. Jogya : Rineka Cipta
Arikunto, Suharsini. (2002). Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Aziz Alimul H,S. kwp, Ners. (2003).
Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika
Adikusuma. (1999). Penatalaksanaan
Stres.http://www.kabefarma.com 123.htm (diakses 5 maret 2007)
Baskoro. (2009). Kahamilan Resiko
Tinggi. Jakarta : Rineka Cipta.
Burns & Grove (1999), Metodology
Research . Jakarta : Rineka Cipta
Carpeneto. (2000). Buku saku keperawatan
Edisi III. Jakarta.EGC
Departemen kesehatan dan Kesejahteraan
sosial Republik Indonesia. 2008. Petunjuk Teknis Penggunaan Buku Kesehatan Ibu
dan Anak. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Timur
Freund, Sigmund. (2002). Psicoanalis A
General Intruduction to Psicoanalisis
Kertidjo,2002.Pengaruh latihan olah raga
pernafasan Bio Energy Power terhadap derajat Ansietas dan depresi,www/http:
bionergy power.com/ansietas.htm ( Diakses 8 pebrruari 2007)
Mocthar, Rustam. (1998). Sinopsis
Obstetri Jilid I Ed. 2. Jakarta : EGC
Manuaba, (1998), Ilmu kebidanan,
penyakit kandungan dan KB untuk pendidikan bidan Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Notoatmojo, Soekidjo (2002). Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Nursalam. (2000). Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Nursalam dan Pariani. (2001). Metodologi
Riset Keperawatan. Jakarta: S.Agung Seto.
Nuryanto, 2008. Kecemasan dalam
Persalinan. Jakarta : EGC.
Santoso, Singgih. (2001).Buku Latihan
SPSS Statistik Non Parametrik. Jakarta: Gremedia
Sugiono. (2005). Statistika Untuk
Penelitian. Bandung : Alfabet
Suhaeni. (2009). Kecemasan dalam
Persalinan. Jakarta : EGC.
Susenas, (2006). Buku Peran Bidan Dalam
Menolong Persalinan. Jakarta : Rineka Cipta.
Stuart & Sundeen (1991), Buku saku
keperawatan jiwa,buku kedokteran jiwa. Jakarta EGC
Sivalintar,2007,Rasa takut dan Ansietas,
www//http:sivalintar.com.ansietas.htm (diakses 28 pebruari 2007)
Savitri,2003. Kecemasan.Jakarta. Pustaka
Popular Obor.
No comments:
Post a Comment